Jumat, 10 Juni 2011

KILASAN PROFIL WTO

• World Trade Organisation (WTO) atau Organisasi Pedagangan Dunia adalah badan antar-pemerintah, yang mulai berlaku 1 Januari 1995.

• Tugas utamanya adalah mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan seprti tariff dan non tariff (misalnya regulasi); menyediakan forum perundingan perdagangan internasional; penyelesaian sengketa dagang dan memantau kebijakan perdagangan di negara-negara anggotanya.
• WTO merupakan metamorfosis dari Perjanjian Umum Bea Masuk dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariff and Trade) yang didirikan tahun 1947, sebagai bagian dari kesepakatan di Bretton Woods, Amerika.

• Sejak 1947 ada delapan perundingan dagang dimana Putaran Uruguay adalah perundingan paling akhir yang terpanjang (berlangsung dari September 1986 hingga April 1994), rumit dan penuh kontroversi sebelum melahirkan WTO.

• Berbeda dengan GATT yang menyusun aturan main di bidang perdagangan internasional, tetapi bukan sebuah institusi; sementara metamorfosisnya yaitu WTO adalah sebuah institusi dengan aturan yang jelas serta daya penegakan yang kuat.

• Dengan disahkan berdirinya WTO, maka semua kesepakatan perjanjian GATT kemudian diatur di dalam WTO plus isu-isu baru yang sebelumnya tidak diatur seperti perjanjian TRIPs (Hak atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan perdagangan), Jasa (GATS lihat penjelasan mengenai sector jasa), dan aturan investasi (TRIMs).

• WTO mempunyai anggota 149 negara serta 32 negara pengamat yang sudah mendaftar untuk jadi anggota.

• Perjanjian WTO mengikat secara hukum. Negara anggota yang tidak mematuhi perjanjian bisa diadukan oleh Negara anggota lainnya karena merugikan mitra dagangnya, serta menghadapi sanksi perdagangan yang diberlakukan oleh WTO. Karena itu sistem WTO bisa sangat berkuasa terhadap anggotanya dan mampu memaksakan aturan-aturannya, karena anggota terikat secara legal (legally-binding) dan keputusannya irreversible artinya tidak bisa ditarik kembali.

• WTO mengadakan Konferensi tingkat Menteri (KTM) dua tahun sekali. KTM pertama diadakan di Singapura tahun 1996, kedua di Geneva tahun 1998 dan sidang ketiga di Seattle, AS tanggal 30 November hingga 3 Desember 1999 dan merupakan sidang terakhir sebelum millenium ketiga. Sidang ketiga ini gagal menyusun Deklarasi Menteri karena dua hal, blockade para demonstrans di luar gedung pertemuan sehingga para delegasi tidak bisa hadir dan perbedaan pandangan yang tajam di ruang sidang antara delegasi dari Negara-negara berkembang dan Negara-negara maju.

• KTM ke IV diselenggarakan di Doha Qatar, yang menghasilkan Deklarasi Doha (sering juga disebut sebagai Deklarasi Pembangunan Doha atau Doha Development Agenda dan Deklarasi Doha untuk Kesehatan Publik. KTM ke-V diadakan di Cancun Meksiko. KTM ke-V ini juga gagal karena sidang mengalami kebuntuan akibat perbedaan pandangan antara Negara-negara maju dan Negara Berkembang mengenai isu-isu baru (kebijakan kompetisi, investasi, pengadaan barang untuk pemerintah; fasilitasi perdagangan). KTM ke-VI diadakan di kota Hongkong China pada Desember 2005 yang menghasilkan deklarasi menteri untuk menyelesaikan putaran Doha.

PERJANJIAN DALAM WTO

Perjanjian dagang dalam WTO adalah hasil dari Putaran Uruguay yaitu teks berbahasa hukum dagang yang terdiri dari 60 perjanjian, lampiran, dan berbagai keputusan. Secara singkat, perjanjian-perjanjian terdiri atas enam bagian, perjanjian payung ( kesepakatan mengenai pendirian WTO); perjanjian untuk setiap tiga isu besar yaitu barang (goods), services, dan hak atas kekayaan intelektual; penyelesaian sengketa; dan kajian ulang atas kebijakan dagang Negara-negara anggota (Trade Policy Reviews).

Tiga isu besar yang berada di bawah WTO adalah:

• Perjanjian Umum tentang Barang tariff dan barang (General agreement on Tariifs and Trade/GATT) yang merupakan perjanjian umum mengenai liberalisasi barang. Terdiri dari beberapa perjanjian lagi di bawahnya seperti pertanian, inspeksi perkapalan, pengaturan anti dumping; tekstil dan produk tekstil.

• Perjanjian Umum Perdagangan Jasa-jasa (General Agreement on Trade in Services/GATS). Dalam perluasan akses pasar sector jasa, setiap Negara menyusun komitmen liberalisasi dan jadwal pelaksanaan untuk ‘seberapa banyak’ pemasok jasa dari luar dapat memberikan jasanya di lokal. (lebih detail lihat informasi dasar mengenai Jasa).

• Hak atas Kekayaan Intelektual yang Terkait dengan Perdagangan (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPS).

Perjanjian-perjanjian itu tidaklah statis melainkan terus berubah. Beberapa hal-hal baru sekarang sedang dirundingkan di bawah Agenda Doha yang dihasilkan dalam KTM WTO ke IV tahun 2001. Beberapa isu yang dirundingkan antara lain Akses Pasar untuk Produk Non Pertanian (Non Agricultural Market Access – NAMA) dan Perdagangan dan Lingkungan.

UNSUR POKOK DALAM WTO

1. Penurunan Tarif. Menghapus atau menurunkan tarif atas suatu produk guna mengurangi biaya ekspor, sehingga membuka pasar tambahan bagi produsen.

2. Most Favoured Nation (MFN). Mengharuskan pemerintah memperlakukan semua negara, investasi dan perusahaan asing secara sama dari segi hokum atau non diskriminasi. Misalnya, Negara tidak dapat menghentikan impor daging sapi dari Eropa bila ia tetap mengimpor daging sapi dari negara lain.

3. National Treatment (NT). Mengharuskan semua negara memperlakukan semua negara, investasi dan perusahaan sama rata dengan investor dan perusahaan domestik. Jadi pemerintah tidak boleh memberikan subsidi untuk perusahaan lokal yang memenuhi kriteria lingkungan hidup, misalnya.

4. Penghapusan restriksi kuantitatif. Melarang penggunaan restriksi selain tarif dan bea. Negara tidak boleh membatasi ekspor atau impor dengan menetapkan kuota untuk membatasi arus barang.

STRUKTUR DAN MEKANISME WTO

• Ministerial Conference (Sidang tingkat Menteri), merupakan badan tertinggi WTO yang bertemu paling sedikit satu kali dalam setiap dua tahun; KTM I diadakan di Jenewa tahun 1996, KTM II di Singapura tahun 1997, KTM III di Seattle Amerika Serikat tahun 1999 (gagal), KTM IV di Doha Qatar tahun 2001, KTM V akan diadakan di Cancun Meksiko pada bulan September 2003.

• General Council, (Dewan Umum) yang bertindak sebagai badan pelaksana untuk mengawasi operasi dari perjanjian WTO dan putusan-putusan yang diambil oleh Ministerial Conference dengan mengadakan pertemuan-pertemuan secara reguler, sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun.

• General Council juga berfungsi dan bertindak sebagai Dispute Settlement Body dan sebagai Trade Policy Review Body.

• General Council membentuk beberapa badan di bawahnya yang dianggap perlu (Council for Trade in Goods, Council for Trade in services, Council for TRIPs, Committee on market Access, Committee on Agriculture, Committee on Sanitary and Phyto-sanitary, dan lain-lain yang diperlukan).

• Sejak KTM Doha, sekretariat WTO membentuk badan khusus untuk merundingkan putaran Doha, yang disebut Komite Perundingan Perdagangan (Trade Negotiations Committee/TNC) yang terdiri atas Dewan yang bertugas mengadakan sidang khusus/special sessions (untuk Jasa; TRIPs; Penyelesaian Sengketa; Pertanian; Perdagangan dan Pembangunan; dan Perdagangan dan Lingkungan. Serta Kelompok Perundingan (Negotiating Groups) untuk akses pasar; aturan-aturan dan fasilitasi perdagangan.

• Sekretariat dipimpin oleh seorang Director-General, yang saat ini dijabat oleh Pascal Lamy mantan ketua Komisi Perdagangan Uni Eropa. Dirjen WTO membawahi empat Dewan yang masing masing mengkoordinasikan bidang-bidang yang dicakup oleh WTO.

• Pengambilan keputusan dilakukan secara konsensus. Voting hanya dilakukan apabila diperlukan. Dalam pelaksanaannya, pengambilan keputusan ini dilakukan dengan tidak demokratis, seperti dengan tekanan politik, ekonomi dan lobby-lobby yang dilakukan dalam ruang tertutup. Mekanisme tertutup dan tidak transparan ini sering disebut green room, walaupun terus dikiritik oleh Negara-negara anggota dan kelompok masyarakat sipil tetapi masih dipertahankan sampai sekarang di tahun 2006.

FAKTA dan REALITAS WTO

• WTO mempunyai mandat yang luar biasa dalam mengelola ekonomi global untuk kepentingan perusahaan multinasional (MNC) serta negara maju,

• Mandat WTO adalah menciptakan, dan menjalankan peraturan perdagangan bebas menuju “dunia tanpa batas negara”. Akibatnya WTO mempunyai kekuasaan tidak hanya judisial tetapi juga legislatif. Artinya, hukum dan kebijakan nasional haruslah bersesuaian dengan perjanjian WTO, dan bila belum sesuai harus segera diubah.

• WTO adalah organisasi yang berbasiskan ‘aturan-aturan main atau rules’ yang merupakan hasil perundingan. Aturan tersebut disebut juga ‘perjanjian atau kesepakatan (agreements). Di atas kertas, perjanjian tersebut haruslah dihasilkan dari serangkaian perundingan yang yang dilakukan oleh semua Negara anggota, dan mencerminkan kebutuhan anggota (member driven). Realitasnya, perundingan dan penyusunan naskah awal kesepakatan ditentukan oleh factor lain, yaitu kekuatan politik Negara-negara anggota. Di dalam WTO dikenal ada “power bloc” yang disebut quad terdiri dari Uni Eropa, Jepang, AS dan Canada. Walaupun pengambilan keputusan berdasarkan konsensus tetapi kekuasaan riel ada di tangan Negara-negara besar tersebut. Salah satu delegasi dari negara berkembang mengatakan, dalam proses menuju KTM Doha pada tahun 2001 misalnya, kita (negara-negara berkembang) disodori teks-teks “ajaib“, yang isinya muncul tiba-tiba dalam naskah awal tanpa ada perundingan sebelumnya. Tetapi di KTM Doha keadaannya lebih buruk, teks-teks bisa muncul tiba-tiba tanpa ada yang memasukkannya, dan pada hari terakhir sekeretariat WTO mengatakan “inilah hasil teks terakhir”.

• Arus barang, investasi dan jasa dibiarkan bebas tetapi arus teknologi dan tenaga kerja dibatasi, sementara dua hal terakhir diperlukan oleh negara sedang berkembang.

• Perjanjian WTO dianggap paling tinggi derajatnya oleh negara sehingga menegasikan semua perjanjian internasional lain, termasuk perjanjian lingkungan hidup. Demikian pula peran pemerintahan serta negara di tingkat local dan nasional dikalahkan oleh peran pasar dan perdagangan.

• Dapat diadakan pengaduan terhadap suatu negara (non-compliance) serta pengenaan sanksi berupa penalti dan retaliasi silang yang punya pengaruh luas.

• Disiplin dalam WTO mengikat secara hukum terhadap pemerintah yang sekarang maupun pemerintah di masa depan. Jadi meskipun sebuah partai politik oposisi kemudian menang, ia tidak bisa menjalankan kebijakan baru yang bertentangan dengan aturan-aturan WTO. Dengan demikian suatu negara tidak lagi mempunyai banyak pilihan kebijakan ekonomi.

PERLUASAN MANDAT WTO

• Isu-isu baru (sering juga disebut isu Singapura karena diagendakan pertama kali dalam KTM di Singapura) yang diusulkan terutama oleh negara maju dalam KTM I sampai dengan KTM III menyangkut standar buruh, lingkungan hidup, investasi, korupsi dan transparansi serta kebijakan kompetisi disepakati untuk menjadi kesepakatan terikat (legal binding).

• Pada KTM IV WTO di Doha 2001 hal-hal yang gagal disepakati di Seattle dengan segala cara coba dimasukkan kembali, seperti Issues (investasi, pengadaan barang pemerintah, fasilitasi perdagangan, dan kebijakan kompetisi), tarrifikasi, negosiasi perdagangan dan lingkungan kembali diletakkan oleh negara-negara maju. Setelah melewati perundingan yang tidak demokratis dan penuh dengan tekanan politik dan ekonomi secara bilateral, kesepakatan Doha ditandatangani.

• Kemenangan kecil negara-negara berkembang, di tengah kekalahan yang yang sangat besar adalah adanya deklarasi khusus yang menyatakan bahwa implementasi TRIPs tidak boleh menghalangi hak akses masyarakat pada kesehatan dan obat-obatan.

• KTM ke V di Cancun-Meksiko pada tahun 2003 gagal mencapai kesepakatan. Sementara KTM ke VI di Hongkong berupaya melanjutkan kembali penyelesaian Putaran Doha, ada beberapa perubahan.

Sumber Aileen Kwa : Power Politics in WTO, 2002/ www.wto.org / www.twnside.org.sg

Pelembagaan Pembangunan dalam Negara Sosialis (Uni-Sovyet Socialist Republic-USSR)

Untuk mengetahui seberapa efektifkah pelembagaan pembangunan pada negara sosialis terhadap pencapaian cita-cita ideologisnya, disini saya akan mencoba untuk untuk memberikan suatu gambaran pelembagaan pembangunan yang ada di USSR sebagai suatu negara sosialis terbesar yang pernah ada.
1. Kerangka Ideologis.
Sebagai suatu negara sosialis pada dasarnya ideologi yang dianut USSR adalah Marxisme. Tetapi dalam perkembangannya untuk mewujudkan suatu masyarakat sosilis-komunis ajaran Karl Marx tentang komunis pun mengalami perubahan-perubahan dan penyempurnaan. Perubahan dan penyempurnaan yang terjadi adalah merupakan sumbangan para pemikir yang mengkaji teori dari Marx dengan menyesuaikannya dengan perkembangan masytarakat. Salah seorang yang telah melakukan interpretasi atas ajaran Marx adalah Vladimir Ilnych Ulyanov (Lenin). Yang kemudian ajaran dikenal dengan Marxisme-Leninisme, yang menjadi ideologi USSR. Dasar dari ajaran Marx adalah perjuangan kelas yang memunculkan revolusi ploretariat yang bertujuan untuyk menciptakan suatu masayarakat komunis, yaitu masyarakat tanpa kelas yang sama-rasa sama-rata. Untuk mencapai masyarakat komunis itu Lenin menambahkan perlu adanya satu partai komunis yang menjalankan pemerintahan diktaror ploretariat menuju suatu masyarakat komunis. Jadi pada dasarnya nilai utama dari pelembagaan pembangunan yang dilakukan di USSR adalah terciptanya suatu masyarakat komunis yaitu suatu masyarakat tanpa kelas yang sama-rasa sama rata.

2. Bentuk Negara.
Negara yang menganut ideologi Marxsis (komunis) biasanya mengambil bentuk negara republik-sosialis atau republik rakyat. Contohnya adalah USSR, RRC, dan lain-lainnya. Pada kenyataanya pada banyak negara di dunia ini masih banyak yang menggunakan Marxis/ komunis sebagai ideologi negara. Walaupun eksistensi dari negara-negara tersebut kian terpinggirkan oleh hegemoni negara-negara kapitalis yang kian menancapkan ideologinya di dunia, walaupun kapitalisme itu sendiri sebagai suatu ideologi juga mengalami suatu anomali. Terlebih setelah runtuhnya USSR sebagai negara sosialis terbesar di dunia mengalami keruntuhannya, yang juga membuktikan bahwa ideologi sosialis (marxisme) juga mengalami anomali.

3. Bentuk pelembagaan pembanguanan.
Pada negara sosialis (komunis) fungsi dasar dari negara adalah alat untuk mewujudkan suatu masyarakat komunis, maka ketika masyarakat dipandang belum mampu untuk mandiri sebagai masyarakat komunis maka negaralah yang melaksakan pemerintahan sebagai diktator proletariat, yang menguasai semua aspek kehidupan masyarakat. Yang menguasai semua faktor produksi untuk kemudian mendistribusikan hasilnya pada masyakat.
Ketika berbicara masalah pelembagaan pembangunan yang ada di benak saya adalah suatu pembangunan ekonomi yang menurut saya efeknya bisa langsung terasa pada msyarakat. Oleh karena itu disini saya akan mencoba untuk menberikan suatu deskripsi pelembagaan ekonomi di USSR sebagai bentuk usaha pembangunan yang dilakukan.
Secara garis besar pelembagaan ekonomi di USSR dilaksanakan dengan sistem Perencanaan Lima tahunan (Five-year planning). Ada tiga katagori yang dilakukan oleh lembaga yang melakukan perencanaan dan pengawasan atas program ini, yaitu:
- Lembaga ini harus memperkirakan ketersedian sumberdaya alam, sumber daya manusia (buruh), sumber daya keuangan yang dipunyai oleh negara. Lembaga ini harus mengumpulkan dan mengkoordinasikan seluruh informasi ekonomi yang ada di seluruh negara.
- Lembaga ini harus mempersiapakan secara detail dan utuh bukan saja masalah-masalah ekonomi , tetapi juga bidang-bidang yang terkait, sepeerti pendidikan, dan lain-lain.
- Struktur pegawasan dari lembaga ini harus secara konstan memeriksa setiap lembaga yang terkait deangan perencanaan, dalam prakteknya seluruh lembaga yang ada di negara.
Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab pada sistem ini pada dasarnya ada 3 (tiga) bentuk, yaitu:
1. The Goesplan (komisi/ komite perencanaan negara)
Merupakan komisi yang selalu terlibat dalam lembaga yang merencakan sistem pada setiap periodenya, tetapi fungsinya selalu berubah ubah, yaitu:
- 1950-1956 komisi ini menjalankan tugas-tugas khusus dalam perencanaan, sedangkan tugas-tugas umum diserahkan pada lembaga lainnya.
- 1957-1960 komisi ini menjalankan tugas yang lebih luas, yaitu: mengkoordinasikan informasi, menggambarkan perencanaan, mengawasi pelaksanaannya, tetapi tanpa dibekali kekuatan memaksa.
- 1960 lembaga ini menjalankan tugas-tugas umum tugas khusus diserah kan pada lembaga lainnya.
- 1963 komisi ini menjalankan tugas-tugas khusus, tugas-tugas umum diberikan pada sovnarkhov (dewan ekonomi nasiomnal).
2. Sovnarkhov (dewan ekonomi nasional)
1963 bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perencanaan. Bersama dengan the Goesplan disebut sebagai tubuh negara.
3. The supreme council of nasional econiomy (dewan agung ekonomi nasional)
Merupakan bentuk lain dari council of ministers (dewan menteri) yang menguasai jalannya pemerintahan. Artinya lembaga ini adalah kepanjangan dari dewan menteri.
Karena begitu luasnya tugas dari lembaga ini, maka di buatlah suatu sistem yang memudahkan tugas dari lembaga ini, yaitu;
- Teritorial
Dimana disetiap wilayah atau distrik di bentuk lembaga perencana.
- Fungsional
Dimana disetiap kementrian dan departermen, juga di pabrik-pabrik, dan di pertanian kolektif.

4. Tinjauan Kritis.
Sampai saat ini usaha untuk mewujudkan ajaran Marx tentang suatu masyarakat komunis belum juga tercapai. Bahkan USSR sebagai negara sosialis terbesar di dunia telah runtuh. Ini bisa diartikan bahwa ideologi komunis terbukti telah mengalami kebangkrutan, walaupun ini bukan berarti bahwa ideologi komunis hilang dari perpolitikan dunia. Masih banyak negara di dunia ini yang tetap setia pada ajaran-ajaran Marx sehingga ideologinya pun masih banyak dipakai, khususnya di negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga.
Ketika USSR runtuh maka persaiangan antara dua ideologi besar, yaitu: Marxisme dengan Kapitalisme pun berakhir dengan kemenangan ditangan kapitalis. Itulah sebabnya mengapa walaupun negara-negara yang tetap setia dengan ideologi Marxis masih banyak tetapi mereka pun harus mulai mengadopsi nilai-nilai kapitalis agar mereka tetap eksis sebagai suatu negara. Sebut saja Rusia sebagai pewaris USSR dan China yang merupakan kekuatan komunis yang besar, kini mereka telah membuka dirinya untuk melakukan suatu liberalisasi walaupun secara perlahan. Negara yang tetap ngotot untuk bertahan dengan ideologinya terpaksa harus rela menjadi negara miskin.
Hal-hal diatas merupakan bukti bahwa Marxsisme sebagai ideologi negara telah mengalami suatu kegagalan. Banyak faktor tentunya yang menyebabkan kegagalan dari ideologi ini, tetapi yang pasti ketika suatu negara telah runtuh maka bisa dipastikan bahwa pelembagaan pembangunan yang selama ini mereka lakukan telah mengalami kegagalan, tentunya juga tanpa mengabaikan faktor-faktor politik yang mengakibatkan terjadinya hal tersebut. Kesalahan utama dari kegagalan pelembagaan pembanggunan adalah karena begitu besarnya tanggung jawab yang diberikan pada lembaga ini, sehingga kinerjanya menjadi kurang efektif. Dan juga karena campur tangan dari pada penguasa politik pada bidang ekonomi. Terbukti dengan pembentukan The Supreme council of National Economy yang merupakan kepanjangan tangan dari The Council of Ministers. Karena adanya campur tangan diatas maka kemungkinan timbulnya korupsi makin terbuka. Ketika korupsi telah terjadi di pemerintahan maka kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan berkurang atau bahkan hilang. Terlebih lagi di negara sosialis-komunis yang menjanjikan suatu masyarakat tanpa kelas, kebrobrakan pemerintah telah membuktikan kepada rakyat bahwa pemerintah tidak dapat di percaya. Pemerintah hanya menumbulkan kelas sosial baru yaitu kelas negara, sehingga cita-cita suatu masyarakat tanpa kelas adalah suatu hal absurd. Dengan munculnya fenomena tersebut bisa saja rakyat merasa dimanfaatkan oleh kelas penguasa yang pada akhirnya bisa menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Yang bisa saja pada akhirnya akan meruntuhkan kelas penguasa dengan sebuah revolusi.hal ini telah terbukti dengan runtuhnya USSR. Dengan timbulnya kesadaran masyarakat bahwa ideologi yang selama ini mereka anut tidaklah membuktikan apa-apa, bisa saja kemudian rakyat akan beralih kepada sutu ideologi yang telah terbukti memberikan suatu kemakmuran pada penganutnya, dalam hal ini komunisme bisa ditinggalkan oleh penganutnya untuk kemudian beralih ke ideologi kapitalis.

Teori Dan Konsep Negara Di Negara Berkembang

Pada pembahasan teori dan konsep negara di negara berkembang sebenarnya terletak pada bagaimana negara menjelmakan dirinya dalam sebuah keadaan atau kondisi yang spesifik, yakni keadaan dunia ketiga, yang karena kondisinya yang spesifik menghasilkan juga sifat-sifat spesifik. Jadi yang dibahas bukanlah sebuah teori baru tentang negara di Dunia Ketiga karena pada dasarnya tidak ada teori tersendiri tentang Dunia Ketiga (Arief Budiman, Teori Negara, 1996, hal 107).
Dunia ketiga seringkali dirumuskan sebagai dunia yang umumnya lebih miskin, ketimbang negara-negara industri maju. Tentu saja rumusan ini bersifat kasar dan penuh kekurangannya. Seperti yang telah di katakan di atas mengenai tidak adanya teori negara yang tersendiri dari dunia ketiga maka peneliti mencoba memberikan beberapa teori yang menjelaskan gejala negara di Dunia Ketiga, yang bertujuan menunjukan aspek-aspek yang menjadi perhatian dalam membicarakan negara di Dunia Ketiga, seperti di bawah ini :

Teori Budaya (Benedict Anderson),

" ... bahwa budaya yang ada di negara-negara Dunia Ketiga masih bersifat feodal. Kekuasaan politik masih dianggap sebagai perpanjangan dari kekuasaan ke Ilahian, sehingga tidak bisa ditentang ". (Benedict Anderson, Teori Negara, 1996 hal 107)

Teori Negara Pasca Kolonial (Hamza Alavi, seorang Sarjana dari Pakistan),
"Bahwa negara-negara merdeka yang muncul di Dunia Ketiga yang sebelumnya dijajah, terlanjur mempunyai kekuasaan yang begitu besar. Pemerintah berdiri di atas klas-klas sosial yang ada. Kekuasaan yang lebih besar dari pada kekuatan yang ada di tangan rakyatnya. Ketika masyarakat jajahan ini berhasil memperoleh kemerdekaan, pemerintah atau birokrasi kolonial yang ada masih tetap utuh. Penguasa nasional yang baru seringkali merasa bahwa perangkat kekuasaan ini memudahkan mereka untuk memerintah. Karena itu di banyak negara Dunia Ketiga yang memperoleh kemerdekaan, bentuk pemerintahannya harus dipertahankan, atau sangat sedikit diubah oleh penguasa yang baru, dan inilah yang disebut sebagai negara pasca kolonial ". (Hamza Alavi, Teori Negara, 1996, hal 109).

Teori Negara Otoriter Birokratis (Guillermo O Donnel).
Pemerintah secara terus menerus menolak tuntutan-tuntutan politik para pemimpin masyarakat terutama yang berasal dari klas bawah ... para pemimpin rakyat juga disingkirkan dari kedudukan-kedudukan politik yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan yang di lakukan oleh negara. Oleh karena itu, sebagai akibatnya pemerintah menjadi sangat mandiri dalam menghadapi masyarakatnya. ( Guillermo O, Donnel, Teori Negara, hal 109, 1996).


Teori Aliansi Tripel (Peter Evans),
Kalau pada ketergantungan klasik peran negara lemah, pada fase pembangunan-dalam-ketergantungan terjadi proses di mana negara semakin kuat. Konsolidasi kekuatan negara ini bahkan dianggap sebagai prasyarat terjadinya proses pembangunan dalam ketergantungan. Dalam model ini terjadi persekutuan tiga unsur, yakni: (1) Modal Asing, (2) Pemerintah di Dunia Ketiga, (3) Borjuasi lokal. (Peter Evans, Teori Negara, hal 113, 1996).

Oleh Karena itu ....
Nasionalisme memberikan basis ideologi bagi terselenggaranya akumulasi modal di negara tersebut, dan karena itu sangat berguna untuk berargumentasi melawan perusahaan-perusahaan multinasional. Nasionalisme memberikan legitimasi bagi birokrat pemerintah untuk menjalankan perannya di mata borjuasi lokal. Nasionalisme juga merupakan satu-satunya basis di mana pemerintah dapat menyatakan kepada rakyat banayak bahwa mereka sedang menjalankan pembangunan nasional, yang hasilnya nanti dinikamti oleh segala lapisan masyarakat. (Alejandro, Teori Negara, hal 115, 1996).
Pembahasan mengenai konsep dan teori mengenai negara baik di negara maju maupun di Dunia Ketiga, merupakan suatu uraian teori yang peneliti anggap penting dalam membahas penelitian ini.

Teori Dan Konsep Civil Society
Pada akhir dasawarsa delapanpuluhan, Dunia menyaksikan serentetan peristiwa politik yang oleh para pengamat dianggap sebagai awal dari sebuah proses besar demokratisasi yang akan terjadi dalam skala global. Runtuhnya tembok berlin, keberhasilan gerakan solidaritas di Polandia yang kemudian disusul dengan maraknya gerakan pro demokrasi di Hongaria, Cekoslowakia, dan tumbangnya rejim sosialis komunis di Yugoslavia, telah menawarkan janji-janji akan meluasnya proses demokratisasi di belahan dunia yang lain.
Fenomena mengalir dengan derasnya arus demokrasi, secara tegas terlihat bahwa strategi demokratisasi lewat penguatan civil society akhirnya mendapat tempat cukup penting dalam wacana politik setelah ia dianggap berhasil diterapkan seperti contoh-contah di atas.
Gerakan demokrasi yang telah menempatkan kekuatan masyarakat sebagai kelompok yang mempunyai otonomi untuk menuntut jaminan bagi hak-hak asasi manusia, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, serta keadilan yang merata, termasuk dalam masalah pembagian sumber daya ekonomi yang merata. Dalam pengertian ini ada baiknya kita melihat satu definisi mengenai civil society yang diberikan oleh Heningsen :
" Civil Society secara umum dapat diartikan sebagai pengelompokan dari warga negara yang dengan bebas dan egaliter mampu melakukan wacana dan praksis tentang segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan secara keseluruhan. Di dalamnya terdapat jaringan-jaringan, kelompok-kelompok sosial yang terdiri dari keluarga organisasi- organisasi sukarela, sampai pada organisasi yang mungkin pada awalnya di bentuk oleh negara tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu sebagai perantara negara di satu pihak dan individu serta masyarakat di pihak lain. Oleh karenanya civil society harus dibedakan dengan clan, suku atau jaringan-jaringan klientelisme, karena variabel utama di dalamnya adalah sifat public dan civic yang menyiratkan keharusan adanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan di depan umum ". (Heningsen, Democracy. hal 14, 1988).

Penempatan civil society seperti yang di gambarkan oleh Heningsen sudah jelas akan dapat terlaksana jika di dasari oleh sistim politik yang mempunyai legitimasi dan memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mereka yang memerlukan serta sistim politik yang di landasi oleh moral. Pemahaman politik seperti ini digambarkan Havel sebagai berikut:
Politik adalah tanggungjawab, yang diekpresikan lewat tindakan, ... ia adalah tanggungjawab ... karena ia memiliki dasar metafisik: ia tumbuh dari kesadaran atau kepastian sub dasar bahwa kematian kita tidak menghentikan apapun, karena segala hal yang kita perbuat tetap terekam dan dinilai ditempat lain, di tempat yang berada "di atas" kita, dalam apa yang saya namakan ingatan tentang yang ada (the memory of being), yaitu suatu aspek integral dari keteraturan rahasia mengenai kosmos, alam dan kehidupan yang bagi mereka yang beriman disebut Tuhan, terhadap siapa semua penilaian tergantung. (Havel, Di kutip dari Makalah As Hikam yang berjudul Demokrasi Melalui Civil Society, 1993).

Dengan pemahaman politik yang memiliki dasar metafisika yang demikian itulah, maka sistim politik yang berdasar pada rasionalitas instrumental, seperti sistim sosialisme maupun liberalisme akan ditolak. Perbedaan paham inilah yang membuat havel memberikan teorinya tentang landas tumpu civil society : " Letak dasar pemahaman civil society mempunyai landas tumpu etika tanggung jawab sosial bukannya 'the realm of needs and necessity' seperti pada kaum Marxis ".
Pemahaman-pemahaman tentang civil society di atas juga tak jauh berbeda dengan pemahaman yang diberikan oleh Adam Verguson ketika civil society pertama kali dicetuskannya, yaitu : Civil society untuk menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup mampu mengimbangi kekuasaan negara. (Adam Verguson, An Essay on The History of Civil Society, 1967)
Sementara itu ada Ernest Gellner memberikan pemahamannya tentang civil society sebagai berikut : Di banyak bagian dunia, apa yang dimaksud oleh istilah itu tidak terdapat secara nyata. Ketiadaan ini perlahan-lahan sangat terasa dan sangat tidak disukai: pada akhirnya menjadi kehampaan yang menyakitkan. Ketiadaan seperti ini terasa sekali dalam masyarakat-masyarakat yang sangat tersentralisasi dalam segenap aspek kehidupan, dimana terdapat hierarki politik-ekonomi-ideologi tunggal yang tidak mentolerir adanya saingan, dan visi tunggal yang bukan saja mendefinisikan kebenaran tetapi juga menentukan ukuran kebenaran perilaku individu. Hal ini menyebabkan seluruh masyarakat mendekati kondisi teratomisasi, dan kemudian perbedaan pendapat menjadi tanda pemberontakan.
Walaupun demikian secara sederhana masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara. Meskipun tidak menghalangi negara yang berperan sebagai penjaga perdamaian dan wasit diantara berbagai kepentingan besar, tetap dapat menghalangi negara dari mendominasi dan mengatomisasi masyarakat. (Ernest Gellner, Membangun Masyarakt Sipil, 1994, hal 6)
Pemahaman yang berbeda mengenai keberadaan civil society bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bertolak belakang dibahas dalam teori Karl Marx, sebagai berikut : Masyarakat sipil merupakan suatu penipuan, gagasan pluralitas institusi baik yang menentang maupun yang mengimbangi negara, dan pada gilirannya di kendalikan dan dilindungi oleh negara tak lain hanyalah pemberian topeng atas dominasi yang tersembunyi dan merugikan. Gagasan itu memperkuat dominasi tersebut melalui institusi-institusi paksaan yang berpura-pura ramah, lunak, netra dan dikuduskan. Dalam hal ini teori Marxis telah berhasil membuka topeng, bahwa negara yang melindungi masyarakat sipil dan masyarakat sipil yang yang mengimbangi negara adalah mubazir dan penuh penipuan.
Maka dari itu formulasi masyarakat sipil tidak diperlukan: begitu eksploitasi berakhir, munculah tatanan sosial yang tak memerlukan penguatan yang bersifat memaksa. Hanya keterpecahan internal patologis masyarakat yang menciptakan kebutuhan akan negara; hilangnya kondisi itu secara otomatis akan menghilangkan kebutuhan akan sebuah negara. Negara tidak akan diperlukan, dan demikian tentu saja juga tak diperlukan institusi-institusi lain untuk mengimbangi agensi pengatur dari pusat itu. (Karl Marx, Membangun Masyarakat sipil, 1994).
Pernyataan dan pemahaman teori Marxis tentang civil society ini, memberikan visi ideal tandingan dari berbagai pakar maupun sudut pandang keilmuan lainnya, dalam hal ini Kaum Pluralitas dan Agama Islam memberikan pandangannya tentang pemahaman dan pendefinisian civil society, sebagai berikut :
Masyarakat sipil dalam gagasan pluralisme adalah mencegah tegaknya monopoli kekuasaan dan kebenaran dan yang mengembangi institusi-institusi sentral yang, meski diperlukan, justru dapat memperoleh monopoli semacam itu. (Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, 28, 1994).
Sedangkan dalam konsep Islam adalah sebagai berikut : Islam secara resmi tidak memisahkan masjid dan masyarakat, sebagaimana yang juga berlaku terhadap masjid dan negara. Jauh sebelum dirumuskannya ideal-ideal modern seperti pemisahan kekuasaan dan konstitusi, Islam sebetulnya telah memiliki suatu versi keagamaan tentang keduanya. Dewan legislatif berbeda dengan eksekutif, karena perundang-undangan telah ditetapkan lebih dahulu oleh Tuhan, sedangakan agama itu sendiri terutama sekali merupakan hukum konstitusional masyarakat.
Jadi dunia muslim memperlihatkan kecenderungan yang kuat untuk menegakkan umat, yaitu komunitas menyeluruh yang berdasarkan pada iman yang sama dan penerapan hukumnya. (Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, 1994, hal 30)
Untuk lebih dapat memahami tentang konsep dan teori tentang civil society ada baiknya juga kita membahas perkembangan teori ini lewat teori perkembangan masyarakat yang ada sejak jaman yunani kuno sampai sekarang, yang pertama teori dan pemahaman mengenai masyarakat oleh Aristoteles, sebagai berikut : Konsep Aristoteles tentang masyarakat dan negara saling berkait sehingga lebih baiklah memakai istilahnya sendiri, 'polis' untuk mengartikan komunitas sipil yang ia yakini sebagai latar sosial kodrati manusia. Pada awalnya perbedaan-perbedaan dalam kemampuan alamiah dipakai sebagai basis untuk pembagian kerja sederhana dan sebagai sebuah organisasi kekeluargaan yang kuasi-politis.
Rumah tangga adalah jenis komunitas yang paling dasariah tetapi terbatas dalam skop yang di berikannya untuk perkembangan kodrat manusia. Karena kebutuhan untuk membuat yang lebih baik untuk syarat-syarat material dan pertahanan-diri, perkembangan sosial alamiah adalah menuju desa. Desa adalah perkumpulan keluarga-keluarga yang sebagian besar didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kegunaan. Ikatan persahabatan yang diberikan oleh keluarga-keluarga itu terbatas pada apa yang hidup dari pengakuan akan kebutuhan satu sama lain, persahabatan yang berguna. Alasan-alasan yang sama menyebabkan pertumbuhan desa menghasilkan munculnya polis sebagai sebuah kumpulan desa-desa disekitar sebuah kota pusat. Polis tidak hanya meningkatkan keamanan terhadap serangan dari luar dan memudahkan perdagangan yang diperlukan untuk per kembangan ekonomi, polis juga memberi tataran untuk persahabatan sejati antara orang-orang yang sejajar. Sebuah polis terdiri dari komunitas yang secara material, militer dan etis cukup-diri, yang memiliki cukup orang dalam keanekaragaman yang memadai untuk mendukung basis material untuk hidup yang baik tetapi tidak begitu banyak sehingga mereka tidak bisa saling mengenal dan membentuk hubungan-hubungan pribadi yang didasarkan pada kontak temu muka.
Secara historis polis muncul setelah rumah tangga dan desa, artinya bahwa polis merupakan telos atau tujuan yang memberi arah dan tempat untuk bentuk-bentuk komunitas yang lebih kecil. Polis menyempurnakan kehidupan manusia dan dengan demikian jauh dari pada sekedar sebuah kumpulan yang didasarkan pada keinginan-keinginan individu yang telah ada sebelumnya.
Walaupun keuntungan-keuntungan polis mencakup kemajuan ekonomis yang dimungkinkan oleh perkembangan pembagian kerja dan keamanan militer yang diberikan oleh unit yang lebih luas, tujuan-tujuan ekonomis dan militer polis terbatas, dan perlu disyahkan dan dikontrol menurut manfaat semua itu dalam memungkinkan sebuah bentuk kehidupan yang tidak militeristis (seperti Sparta) atau juga tidak materialistis (seperti yang diinginkan para pedagang Athena). keinginan-keinginan untuk kekuasaan dan kesejahteraan tidak dengan sendirinya bersifat alamiah dan dapat dikekang sekali keinginan-keinginan ini mengarah melampaui pemuasaan kebutuhan-kebutuhan itu yang harus ditemukan sebelum manusia bisa masuk sepenuhnya ke dalam hubungan-hubungan persaudaraan dan mengejar kenikmatan-kenikmatan intelektual dari kebijaksanaan teoritis.
Dengan demikian sebuah polis pada hakikatnya merupakan sebuah kesatuan petani-petani kecil yang relatif independent, bersama dengan berbagai macam pedagang dan tukang yang memberi pelayanan yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan pertanian dan pada taraf tertentu oleh kehidupan kota. (Aris Toteles, Tujuh Teori Sosial, 1980, hal 70-75)

Teori perkembangan masyarakat (Thomas Hobbes)
Pada saat manusia dalam keadaan asali, sebelum mereka membuat persetujuan-persetujuan lainnya, pertama-tama harus mengadakan kontrak satu sama lain untuk menyusun suatu kekuasaan yang akan memaksa mereka memelihara persetujuan-persetujuan mereka. Kontrak sosial untuk membentuk masyarakat sipil ini adalah sebuah piranti bagi manusia untuk bertindak menurut keinginan instrumentalnya akan hubungan-hubungan yang damai karena mereka lantas memiliki jaminan bahwa mereka akan menerima keuntungan-keuntungan yang mereka inginkan selama mereka sendiri diminta tidak melukai orang lain. Kontrak sosial terdiri dari pasal-pasal perdamaian yang dideduksikan dari hukum-hukum alam. Dalam skemanya sebuah hukum alam bukanlah sebuah imperatif moral, melainkan adalah sebuah perintah atau aturan umum yang ditemukan oleh rasio, yang dengannya manusia dilarang berbuat sesuatu yang merusak kehidupannya.
Perjanjian alam yang pertama adalah mengusahakan kedamaian, sejauh manusia mempunyai harapan untuk memperolehnya. Perjanjian alam yang kedua adalah seorang manusia yang menghendaki, bila orang lain bertindak demikian juga, sejauh mungkin, untuk ke damaian dan pertahanan dirinya sendiri, dia akan berpikir perlulah meletakan hak ini pada segala hal: dan puas dengan begitu banyak kebebasan melawan orang lain melawan dirinya sendiri, disinilah bahwa hak-hak kodrati manusia dalam keadaan asali dan diserahkan dalam kontrak sosial itu semata-mata merupakan kebebasan-kebebasan atau tidak adanya kewajiban-kewajiban.
Kontrak sosial timbal baliklah yang merupakan dasar dari kehidupan sosial. Kalau semua orang menyerahkan hak kodrati mereka untuk mempertahankan diri dan mempercayakan tugas ini kepada satu orang atau sekumpulan orang, lalu setiap orang dilindungi dari 'free-rider' yang mengambil keuntungan-keuntungan dari kerjasama sosial tanpa memenuhi kewajiban yang memungkinkan keuntungan-keuntungan ini. Satu orang atau kelompok (kekuasaan tertinggi) ini mengerahkan kekuatan kolektif seluruh anggota masyarakat untuk melawan free-rider atau pelanggar kontrak, lalu menjamin kesesuaian dengan hukum alam ketiga bahwa manusia melaksanakan perjanjian-perjanjian yang mereka buat. (Thomas Hobbes, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 92-94)

Teori perkembangan masyarakat (Adam Smith),
Hidup dalam masyarakat berarti hidup bersama dalam kedamaian yang mencukupi untuk menghindari kematian, mengembangbiakan species-species, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi yang hakiki untuk mempertahankan hidup. Karena itu prasyarat pertamanya adalah keadilan, yaitu sistim tertentu untuk mengendalikan kecenderungan alamiah manusia untuk melukai orang lain.
Dan masyarakat dapat dilihat sebagai keseluruhan sebagai sebuah mekanisme yang terintegrasi dengan sebuah tujuan menyeluruh. (Adam Smith, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 122-123)

Teori perkembangan masyarakat (Karl Marx),
Dalam produksi sosial yang dilaksanakan manusia mereka masuk ke dalam hubungan-hubungan tertentu yang tak tergantung dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini berkaitan dengan sebuah tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi mereka yang bersifat material. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat. Pembedaan masyarakat atas dasar cara-cara produksi masyarakat-masyarakat tersebut. Sejarah adalah kemajuan masyarakat primitif ke masyarakat perbudakan dan kemudian menjadi feodalisme dan pada akhirnya menuju komunisme. Oleh karena itu fungsi negara tak lebih dari pada penjagaan kepentingan-kepentingan kelas ekonomis yang berkuasa dengan jalan kekerasan. Pemerintah adalah sebuah manifestasi dan pertahanan dari kekuasaan ekonomis. (Karl Marx, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 146)

Teori tentang masyarakat (Emile Dhurkeim),
Masyarakat adalah sebuah tatanan moral, yaitu seperangkat tuntutan normatif lebih dengan kenyataan ideal dari pada kenyataan material, yang ada dalam kesadaran individu meski demikian dengan cara tertentu berada di luar individu. Dua konsepnya yang berhubungan dengan kenyataan sosial atau masyarakat yaitu; pertama, gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang mempunyai makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa satu sama lain sebagai anggota-anggota kelompok. Kedua kesadaran kolektif mengandung semua gagasan yang dimiliki bersama oleh para anggota individual masyarakat dan yang menjadi tujuan-tujuan dan maksud-maksud kolektif.
Dan masyarakat dapat dibagi menjadi dua, pertama masyarakat sederhana yang mempunyai ciri-ciri populasinya kecil dan tersebar dalam wilayahnya yang terbatas. Anggota-anggota masyarakat memiliki ciri-ciri dan kegiatan-kegiatan yang sama dan termasuk di dalam kelompok-kelompok kecil yang sebagian besar terisolasi yang memiliki sedikit interaksi. Masyarakat sederhana terintegrasi secara ketat, dalam arti tak ada perbedaan yang tajam antara aturan-aturan dan tuntutan-tuntutan kehidupan keluarga, keagamaan, politis, moral dan legal. Semuanya sangat tradisional dan dikontrol secara ketat sehingga individu lahir kedalam situasi-situasi sosial yang dirumuskan dengan jelas dimana kewajiban- kewajibannya persis, jelas dan tak dapat dielakan. Kedua adalah masyarakat kompleks, mempunyai ciri-ciri kebalikan dari masyarakat tradisional, mempunyai wilayah yang luas dengan penduduk yang rapat, dengan berbagai kelompok yang tersusun secara beraneka ragam.
Rancangan-rancangan institusional dispesialisasikan sehingga jenis institusi-keluarga, religius, pendidikan, politis dan ekonomis menjadi lebih tampak jelas dan demikian juga setiap jenis institusi menjadi kurang pokok untuk kehidupan para anggota masyarakat itu. Individu-individu tidak lagi berada di bawah kontrol ketat institusi-institusi yang terjalin erat yang mendominasi masyarakat-masyarakat sederhana. Di dalam dirinya setiap institusi juga menghasilkan spesialisasi peran-peran dan karenanya menyebabkan munculnya perbedaan-perbedaan yang penting di antara para individu yang menduduki peran-peran tersebut. Spesialisasi kegiatan- kegiatan yang saling tergantung ini adalah ciri bukan hanya dari proses ekonomi melainkan dari segala segi masyarakat. Misalnya sebuah masyarakat organis membutuhkan sebuah organ politis yang terspesialisasi, negara untuk merundingkan dan memutuskan demi kepentingan seluruh masyarakat, dan didalam organ masyarakat yang tertentu ini ada keanekaragaman peran politis yang saling tergantung, antara lain yang paling jelas peran menyusun undang-undang, mengadili para pelanggar undang-undang, mengadili para pelanggar undang-undang dan melaksanakan undang-undang. (Emile Dhurkeim, Tujuh Teori Sosial, 1994, hal 178-184)

Teori Masyarakat (Max Weber),
Teori ini memusatkan diri pada perbedaan masyarakat tradisional dan rasional, Otoritas tradisional yang berdasarkan pada penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan itu telah lama ada dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah dengan aturan-aturan ini. Di dalam tatanan tradisional individu merupakan loyalitas dari masa lalu dan mereka mewakili masa lalu itu, sebuah loyalitas yang seringkali berakar dalam sebuah kepercayaan akan kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu. Sedangkan ciri dari masyarakat rasional adalah sebuah masyarakat yang mempunyai hubungan sosial yang bersifat asosiatif dan orientasi tindakan sosial berdasarkan pada sebuah penyesuaian kepentingan-kepentingan yang di motovasi secara rasional atau persetujuan yang di motivasi secara sama.
4.18. Peranan Militer Di Negara Berkembang
Dalam kebanyakan konsep tentang militer di masyarakat Barat, peran militer pada dasarnya adalah untuk mendukung aspirasi politik masyarakat di bawah kepemimpinan sipil. Ketika peranannya telah menyimpang jauh dari apa yang dimaksud di atas maka, ia dianggap telah melakukan intervensi politik. Dalam hal ini Samuel P. Huntington memberikan pernyataannya secara tegas, sebagai berikut : Bahwa sekarang mayoritas profesional militer di Barat menerima kekuasaan sipil sungguh-sungguh sebagai hal yang semestinya ada. (Samuel P. Huntington, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 2)
Sedangkan pada umumnya di negara berkembang atau di Dunia Ketiga, lebih banyak kecenderungan dimana militer lebih besar untuk melibatkan diri dalam politik nasional. Namun keterlibatannya militer di Dunia Ketiga dimungkinkan jika ada beberapa faktor, seperti yang dikatakan oleh Bilver Singh :
Pertama, apabila ada kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat yang mengancam eksistensi angkatan bersenjata. Kedua, militer akan melakukan intervensi politik untuk mendapatkan kekuasaan yan lebih besar yang oleh korps perwira dianggap lebih sesuai dengan struktur-struktur politik yang ada dalam masyarakat. Ketiga, adanya kesempatan. (Bilver Singh, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 5).
Keterlibatan militer di Dunia Ketiga juga mengundang para ahlinya untuk mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dan dapat disebut sebagai rezim militer, dalam hal ini Amos Perlmutter mengamatinya sebagai berikut : Apa yang disebut sebagai rezim militer tidak lagi dapat dianggap hanya sebagai rezim-rezim yang didominasi oleh militer. Bahwa rezim-rezim militer modern dalam komposisinya bukan semata-mata diisi oleh militer. Malahan mereka adalah fusionis antara rezim militer-sipil. Dengan demikian rezim militer dapat diklasifikasikan sebagai berikut; hakikat hubungan antara elite dan struktur militer dan sipil; jangkauan otonomi organisasional dan institusional militer dan sipil dalam rezim militer; hakikat sarana politis dan administratif yang dimanfaatkan dalam rezim militer untuk mencapai modernisasi dan legitimasi-struktur birokratis, komisi, partai politik, kelompok- kelompok kepentingan dan militer itu sendiri dan kelas maupun kelompok yang disusupi oleh rezim militer dan kelas yang hendak dikooptasi atau diajak kerjasama oleh militer.
Kaidah yang biasanya berlaku dalam militer melakukan intervensi, akibat krisis politik, ekonomi, sosial yang muncul dari perubahan masyarakat. Oleh sebab itu Amos Perlmutter juga mengatakan: Rezim-rezim militer terdapat dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan, kekurangan tata keteraturan dan dukungan politik yang sah. Rezim-rezim itu cenderung tumbuh subur dalam dalam pemerintahan yang tidak stabil, belum berkembang secara politik, belum padu secara struktural, dan dalam kebanyakan kasus, belum berfungsi atau berfungsi dengan buruk. Rezim-rezim militer di dirikan untuk menggantikan rezim-rezim yang lemah, eksekutif-eksekutif dan pemerintahan yang lemah, dan khususnya ... untuk mempertahankan negara dari pengambil-alihan secara revolusioner oleh kaum komunis atau ekstrimis.
Dengan latar belakang ini, menurut Amos Perlmutter ada banayak alasan bagi campur tangan militer, alasan-alasan itu meliputi : Anti kolonialisme, nasionalisme, oposisi terhadap rezim nasionalis, anti-oligarkisme, dorongan untuk melindungi institusi militer dari pelanggaran dan ketakutan akan hilangnya otonomi dan kekuasaan militer, keinginan untuk mem promosikan modernisasi dan perkembangan ekonomi, serta tanggapan terhadap ancaman dari sayap kiri. (Amos Perlmutter, Political Roseland Millitary Rules, 1980, hal 238).

Paradigma Hubungan Sipil-Militer
Keterlibatan militer di negara berkembang secara tegas sekali dapat diakibatkan oleh faktor-faktor yang bersifat internal dan eksternal. Mengenai kedua faktor ini dapat kita temui dalam pembahasan-pembahasan yang di kemukakan oleh beberapa ahlinya, sebagai berikut : Kemungkinan untuk campur tangan politik tidak hanya terdapat pada pihak militer itu sendiri tetapi juga ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial politik eksternal. Kebangkrutan politik dan demoralisasi dalam sebuah sistem yang demokratis, dibarengi dengan krisis ekonomi, dapat mendorong militer untuk bertindak. (Taufik Abdullah, Dwifungsi ABRI, 1995, hal 5).
Keterlibatan militer dalam politik dapat dilihat pada karakteristik internal pihak militer itu sendiri maupun pada situasi eksternal dimana militer beroperasi. Seperti, faktor internal orientasi dan kepentingan militer dan faktor eksternal meliputi kondisi sosio ekonomis, kondisi politik, dan faktor-faktor internasional. (Harold Crouch, The Millitary and Politics in Southeast Asia, 1985, hal 288).
Sebaliknya, Ulf Sundhaussen memberikan sarana analisis yang berbeda untuk memeriksa kelangsungan keterlibatan militer dalam bidang politik, khususnya di Dunia Ketiga. Rezim-rezim militer tidak dianggap sebagai bentuk-bentuk pemerintahan yang alamiah, walaupun kebudayaan-kebudayaan politik yang berbeda akan menentukan hal ini secara berbeda pula. Seperti yang dikatakan olehnya : Jika rezim militer memulihkan konsensus atau sekurang-kurangnya, menjalankan hukum dan membangun institusi-institusi politis yang dapat berfungsi untuk memecahkan konflik ... hal itu, demi maksud-maksud praktis, hidup lebih lama dari manfaatnya. Jika dilain pihak rezim itu gagal untuk mencapai tujuan-tujuan ini, rezim itu kehilangan raison d'etre atau dasar keberadaannya dan dengan demikian juga legitimasinya serta pada akhirnya kemampuannya untuk berkuasa. Jadi terlepas dari apakah rezim militer itu gagal atau berhasil, dalam jangka panjang rezim itu dapat disingkirkan dan bahkan dapat menjadi amat merugikan (counter productive). Dan rezim itu seharusnya sudah menarik diri sebelum masyarakat umum menerimanya lagi. (Ulf Sundhaussen, The Durability of Military Regime in Southeast Asia, 1985, hal 270).
Walaupun pihak militer melibatkan diri dalam politik Dunia Ketiga dan dapat memberikan sumbangan pada pembangunan masyarakat, itu tidak berarti keterlibatan politiknya bersifat tetap. Dalam hal ini S.E. Finer menyatakan bahwa ada tiga pola yang bisa terjadi: Pertama menyerahkan kekuasaannya, kedua menjadi sipil kemabali, ketiga pola tengahan dengan menjadi setengah sipil. (S.E. Finer, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 17).
Akan tetapi samuel P. Huntington mengemukakan empat skenario yang mungkin: Militer mengembalikan kekuasaan tetapi menghalangi partisipasi seperti di Birma; mengembalikan kekuasaan dan memperluas partisipasi seperti di Thailand tahun 1973; mempertahankan kekuasaan dan menghalangi partisipasi seperti di Birma (1958-1960) dan lagi setelah tahun 1960 dan tetap mendominasi kekuasaan tetapi memperluas partisipasi seperti di Thailand periode tahun 1968 - 1971. (Samuel P. Huntington, dalam Bilver Singh, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 17).
Dari pembahasan teori-teori di atas merupakan suatu upaya menjelaskan bagaimana keterlibatan militer di bidang politik khususnya di Dunia Ketiga. Dalam pandangan militer terhadap perannya di Dunia Ketiga merupakan suatu kerangka pikir yang baru yang berbeda dengan Barat. Konsep dikotomis hubungan anatara sipil dan militer di Dunia Ketiga dengan supremasi sipil didalamnya sama sekali tidak memadai dalam rangka menjelaskan hubungan sipil-militer di Dunia Ketiga.
Dengan begitu hubungan sipil militer yang suram tidak hanya disebabkan oleh kurangnya modernitas masyarakat, tetapi juga oleh keadaan ketertiban negara, tradisi-tradisi nasional, dan doktrin militer suatu negara. Kapanpun hubungan sipil militer akan ditentukan oleh faktor-faktor seperti, keadaan-keadaan suatu pemerintah berkuasa, hubungan dengan negara-negara lain, tingkat spesialisasi fungsional antara unsur-unsur eselon atas kaum elite yang memerintah, tingkat perselisihan fraksi dalam tubuh elite yang sedang berkuasa, tingkat birokrasi politik, sikap-sikap historis terhadap peran militer dalam kehidupan politik, struktur institusional masyarakat dan kepentingan korps militer.

Siklus Otoritarianisme Dunia Ketiga

Oleh A Eby Hara,PhD.

NEGARA-negara demokrasi baru di Eropa Timur dan Asia selalu mengalami gejolak sebelum mencapai tingkat kematangan demokrasi. Selain krisis pemerintahan karena aturan kelembagaan yang belum dihargai bersama, muncul fenomena menguatnya kembali kekuatan lama yang telah berganti warna dalam politik negara-negara itu.
Meski demikian, naiknya Partai Komunis atau mantan tokoh komunis seperti di Rusia (Presiden Vladimir Putin), Hongaria (PM Peter Medgyessy), Slowakia (Presiden Rudolph Schuster), dan Serbia ke pucuk pemerintahan tak mengubah sistem demokrasi yang belum lama berjalan. Tampaknya sistem demokrasi telah diterima luas, termasuk Partai Komunis yang sebelumnya menerapkan sistem totaliter dalam pemerintahan.
FENOMENA ini sedikit berbeda di negara dengan tradisi rezim militer. Di Pakistan, rezim militer yang dianggap sudah anakronis ternyata kembali berkuasa melalui kudeta terhadap pemerintahan sipil. Di Myanmar, rezim militer tetap bertahan hingga kini meski diisolasi negara-negara Barat. Di Thailand, baru beberapa tahun ini rezim pemerintahan sipil berkuasa cukup lama. Sebelumnya, Thailand terkenal dengan jatuh bangunnya pemerintahan karena kudeta. Godaan bagi militer untuk kembali ke pemerintahan mungkin masih besar di Thailand, tetapi sejalan dengan menguatnya pemerintahan sipil, kemungkinan kudeta militer makin kecil. Korea Selatan juga pernah dipegang penguasa militer, namun transisi ke pemerintahan sipil berjalan lancar.
Mengikuti fenomena di Eropa Timur, Indonesia juga tidak memerlukan waktu cukup lama bagi kembalinya kekuatan-kekuatan lama ke pemerintahan. Reformasi tidak mengubah secara mendasar komposisi kekuatan partai politik maupun struktur dan hierarki sosial di masyarakat. Maka, tidak mengherankan bila kekuatan lama yang punya jaringan kuat tinggal menunggu waktu untuk kembali berkuasa.
Namun, berbeda dengan fenomena rezim-rezim militer yang merebut kembali kekuasaan lewat kudeta seperti di Pakistan, Myanmar, atau Thailand sepuluh tahun lalu, konsolidasi kekuasaan militer meski lewat para purnawirawan, di Indonesia dilakukan dengan melebur pada sistem dan mekanisme politik baru.
Fenomena masuknya militer ke politik seperti di Indonesia, meski bukan satu-satunya di dunia, kurang kondusif bagi perkembangan demokrasi. Seperti di Eropa Timur, diharapkan lembaga demokrasi akan tetap dipertahankan siapa pun yang berkuasa. Namun, masyarakat tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran tentang munculnya kembali otoritarianisme, yang kalau tidak dimotivasi oleh faktor internal pada diri militer, bisa dipercepat oleh faktor eksternal yang mendorong peran militer lebih besar.
SIKLUS otoritarianisme demikian sudah diingatkan Samuel Huntington dan Joan Nelson lebih dari tiga puluh tahun lalu. Mereka menyebutkan, masalah utama demokrasi di dunia ketiga terletak pada pelembagaan dan partisipasi politik. Dalam hal partisipasi, negara- negara yang menutup keran partisipasi politik akan mencapai titik jenuh yang menimbulkan apa yang disebutnya "ledakan sosial". Tuntutan bagi partisipasi yang besar ini akan melahirkan pemerintahan yang terbuka, populis, dan pro-pemerataan ekonomi. Namun, suasana ini tidak akan bertahan lama karena melemahnya kemampuan ekonomi negara. Stagnasi ekonomi ini akan kembali melahirkan protes, ketidakstabilan politik yang mengancam negara itu. Huntington dan Nelson menyebutkan akan munculnya represi politik dan otoritarianisme baru untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan kesemrawutan politik akibat keterbukaan.
Siklus itu akan terus berputar menuju kembali ke ledakan sosial, kecuali ada kebijakan-kebijakan tambahan yang diambil rezim otoriter untuk menghentikan lingkaran itu. Rezim-rezim otoriter pembangunan menjadi harapan bagi perubahan bila berhasil memperbaiki ekonomi dan mengambil kebijakan yang bisa menanggulangi kesenjangan ekonomi di masyarakat. Rezim otoriter pembangunan di Korea Selatan dan Taiwan dianggap berhasil dalam hal ini sehingga social explosion bisa dicegah. Kestabilan politik terpelihara dan perubahan ke arah sistem demokratis bisa berjalan lebih lancar tanpa korban berarti.
Pandangan Huntington dan Nelson memang berlaku untuk rezim otoriter pembangunan beberapa dekade lalu saat rezim-rezim itu masih menjadi model di Amerika Latin dan Asia. Namun, kondisi-kondisi yang bisa melahirkan siklus itu agaknya tetap sama. Ledakan sosial dan tuntutan perubahan, terutama, terjadi bila kesenjangan ekonomi kian besar meski pertumbuhan ekonomi baik.
Sebaliknya, otoritarianisme dan represi politik akan muncul bila ekonomi stagnan yang menyebabkan lahirnya berbagai tuntutan masyarakat yang berujung ketidakstabilan politik dan kerusuhan.
DALAM konteks siklus ini, kekhawatiran atas munculnya kembali otoritarianisme di Indonesia cukup beralasan. Tentu saja otoritarianisme itu belum tentu kembali dalam bentuk model pemerintahan otoriter pembangunan, tetapi lebih kepada mentalitas yang sebagian kini berkembang di masyarakat dan kalangan elite. Siklus demikian tercermin dari asumsi umum bahwa bilamana terlalu banyak partisipasi dan kebebasan, pemerintahan tidak akan stabil, tidak efisien, dan ekonomi stagnan. Karena itu, kita memerlukan orang atau pemerintahan yang kuat.
Rezim-rezim otoriter pembangunan, atau sering disebut semi-demokrasi atau soft-authoritarian, dalam beberapa hal mendapat simpati meski memberangus media, membatasi perdebatan politik, mengatur aturan pemilu untuk kepentingan partai berkuasa, dan membatasi oposisi. Salah satu alasannya karena rezim-rezim itu memberi rasa aman, kepastian berusaha, dan berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Rezim Orde Baru di bawah Soeharto adalah rezim otoriter pembangunan, kecuali dalam hal manipulasi kekuasaan yang ditopang kekuatan militer yang nyata dan ketiadaan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan semi-demokrasi lain umumnya dikuasai sipil dengan tradisi pemisahan kekuasaan antara sipil dan militer, seperti di Malaysia dan Singapura. Semua keputusan pemerintahan diambil pemerintah sipil. Strategi politik dan keamanan dirancang oleh tokoh-tokoh sipil yang siap dilaksanakan oleh militer yang profesional.
DI negara-negara semi-demokrasi sipil itu, pemerintahan dianggap kuat bukan terutama dalam pengertian kemampuan menghancurkan lawan-lawan politik, tetapi bersih dan mampu melaksanakan program- program pembangunan dan ekonomi dengan baik. Di negara-negara itu, para pendukung pemerintahan mengatakan, bagi mereka demokrasi sekadar alat, bukan tujuan utama. Proses demokrasi digunakan untuk memperoleh kekuasaan dan menciptakan pemerintahan yang kuat dalam pengertian di atas.
Di Indonesia, politik dan proses demokrasi juga dipahami sebagai alat. Kini para elite politik dalam parpol yang suaranya agak besar, meski jauh dari mencapai mayoritas, merasa bahwa rakyat sudah kembali menginginkan mereka untuk berkuasa dan berhak memimpin.
Kita belum tahu pasti, seperti apa dan ke arah mana sebetulnya kerinduan masyarakat terhadap pemimpin yang kuat dan pemerintahan yang stabil itu. Yang lebih pasti sebenarnya bukan kerinduan masyarakat, tetapi kerinduan kekuatan lama untuk berkuasa kembali. Mereka mewarisi gaya, model kepemimpinan, dan terdidik dalam suasana politik Orde Baru.
Pemerintahan yang kuat saat itu berarti pemerintahan yang mampu menertibkan lawan-lawan politik. Kembalinya otoritarianisme seperti itu tentu saja sangat merisaukan.

PERBANDINGAN PEMERINTAHAN SOSIALIS DI ASIA TENGGARA STUDI KASUS VIETNAM DAN LAOS

PERBANDINGAN PEMERINTAHAN SOSIALIS DI ASIA TENGGARA STUDI KASUS VIETNAM DAN LAOS
Latar Belakang
Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang sangat penting di dunia, semua ini terlihat pada abad 19, kawasan ini menjadi kawasan yang diperebutkan oleh para kolonialis Barat karena kekayaan alamnya yang melimpah. Seperti halnya Inggris, Perancis, Portugal, Belanda yang menjadikan daerah-daerah di kawasan ini sebagai Negara jajahannya.

Terlepas dari penjajahan yakni setelah berakhirnya perang dunia ke II banyak Negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini memproklamirkan kemerdekaannya. Mesti begitu perjuangan mereka tidaklah berjalan lancar, penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan.

Peristiwa perang dingin yang terjadi paska Perang dunia II antara Amerika Serikat dan Uni Soviet berlangsung lebih dari 40 tahun. Pada masa itulah kedua Negara besar ini berlomba-lomba untuk memperluas pengaruh dan menyebarkan ideologinya keseluruh penjuru dunia. Amerika Serikat dengan pahan kapitalisnya yang dianggap ideologi terbaik di dunia dan Uni Soviet dengan paham komunisnya yang juga menganggap ideologinyalah yang paling sempurna.

Salah satu kawasan yang dijadikan tempat perluasan pengaruh kedua Negara besar ini adalah Asia Tenggara. Bahkan Vietnam menjadi rebutan antara Amerika Serikat dan Uni soviet sehingga terbagi menjadi dua bagian. Bagian utara Vietnam berhaluan sosialis dan bagian selatan Vietnam berhaluan kapitalis. Pada akhirnya Vietnam utara berhasil menang melawan Vietnam selatan yang dibantu Amerika dan berhasil menyatukan dua Negara yang terpecah dan menjadikannya sebagai Negara sosialis. Selain itu Vietnam utara juga memperluas pengaruhnya ke Negara tetangganya yakni Laos dan Laospun mengikuti ideologi dan jalan hidup Vietnam. Akhirnya jadilah Vietnam dan Laos sebagai Negara sosialis di Asia Tenggara karena terlalu besarnya pengaruh komunis Uni Soviet di kedua Negara ini pada masa perang dingin.

Perang dinginpun sudah berakhir yang diiringi dengan runtuhnya Uni Soviet pada bulan Desember 1991, namun hal ini tidak menyurutkan semangat Vietnam dan Laos untuk tetap menggunakan dan mempertahankan ideologi sosialisnya yang menjadi landasan Negara. Dalam kondisi ekonomi yang semakin memburuk akibat sudah tidak adanya lagi bantuan dana dari Soviet, Vietnam dan Laos tetap menjadi Negara sosialis di Asia Tenggara. Untuk menyelesaikan semua permasalahannya ini Vietnam dan Laos mulai membuka diri dan pasar mereka namun dari segi politik komunis masih dipertahankan.

Permasalahan
Vietnam dan Laos menjadi Negara sosialis di Asia Tenggara, namun perekonomian kedua Negara ini sangatlah memprihatinkan bahkan termasuk salah satu Negara miskin di Asia Tenggara. Meski berpahamkan sosialis, tapi kini Vietnam dan Laos sudah mulai membuka diri untuk hubungannya dengan dunia luar, ini terlihat bahwa kini keduanya sudah melakukan hubungan bilateral dengan berbagai Negara serta ikut aktif dalam orgasnisasi internasional, kini keduanya telah menjadi angota ASEAN (Associations of South East Asia).

Dalam menghadapi krisis di negaranya, kedua Negara ini sudah mulai memperbaiki semuanya dan membuka pasarnya mengikuti pasar bebas tapi dalam segi politik komunis tetap dipertahankan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kondisi perpolitikan kedua Negara dan bagaimana cara mereka keluar dari krisis dan tetap mempertahankan ideologi komunis.

Pemerintahan Sosialis di Vietnam
Vietnam memiliki nama resmi Republik Sosialis Vietnam (Cộng Hòa Xã Hội Chủ Nghĩa Việt Nam). Secara geografis Vietnam berbatasan dengan Republik Rakyat Cina di sebelah utara, Laos di sebelah barat laut, Kamboja di sebelah barat daya dan di sebelah timur terbentang Laut China Selatan. Dengan populasi sekitar 84 juta jiwa, Vietnam adalah negara terpadat nomor 13 di dunia dan Negara berpenduduk terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Indonesia. Memiliki luas wilayah 329707 km terdiri atas bukit-bukit dan gunung-gunung berhutan lebat. Bagian Utara kebanyakan terdiri atas pegunungan dan Delta Sungai Merah, sedangkan bagian Selatan dibagi menjadi dataran rendah tepi pantai, puncak Annamite Chain, hutan-hutan luas dan tanah yang tidak subur.

Sejarah
Vietnam memiliki sejarah yang cukup unik diantara Negara Asia Tenggara lainnya. Penaklukan sudah menjadi bagian dari kehidupan rakyat Vietnam selama berabad-abad lamanya. Dimulai dari penaklukan Cina atas Vietnam, kolonialis Perancis, Kolonialis Jepang hingga pendudukan Amerika Serikat. Meski memiliki sejarah penjajahan panjang oleh bangsa asing namun Vietnam juga melakukan penaklukan kedaerah disekitarnya terutama kedaerah selatan seperti halnya bangsa Kampuchea (khamer).

Perang terus terjadi di Vietnam sehingga Bangsa Vietnam terkenal tangguh dalam berperang. Penjajahan pertama di Vietnam adalah penjajahan Cina yang berlangsung dari tahun 111 Masehi hingga 939 Masehi , maka tidak mengherankan bila diantara kedua Negara ini memiliki banyak kesamaan mulai dari agama, bahasa, seni, pakaian, makanan, dan filsafat.

Pada abad ke 19 musuh baru datang untuk melakukan penaklukan terhadap Vietnam yakni Perancis yang diawali dengan datangnya para misionaris Perancis pada abad 16. Pada tahun 1858, pasukan Perancis menyerang Da Nang dan mulailah perang melawan Vietnam, Perancis menduduki wilayah selatan lebih dari 20 tahun dan kemudian wilayah Utara pada tahun 1883 dengan serangannya ke Ibukota Hue dan memaksa Dinasti Nguyen menandatangani perjanjian damai 1883-1884 yang mengakui kekuasasan Perancis diseluruh wilayah Vietnam . Karena itulah mengapa pengaruh budaya Perancis begitu kuat di Vietnam Selatan. Vietnam utara lebih giat berjuang melawan penjajahan pada Februari 1930 berdiri partai komunis Indochina dibawah pimpinan Ho Chi Minh yang melakukan perjuangan pembebasan dengan cara-cara baru yakni kemerdekaan nasional, demokrasi dan sosialisme.

Setelah pengaruh Perancis mulai berkurang datanglah pasukan Jepang sekitar tahun1940an, namun setelah kekalahannya pada perang dunia II dan Jepang menyerah terhadap sekutu. Pada 2 September 1945 Vietnam memproklamirkan kemerdekaannya dan menjadi Republik Sosialis Vietnam. Namun Perancis tidak mengakuinya. Terjadilah perang melawan penjajahan Perancis, akhirnya tahun 1954 benteng terakhir Perancis di Vietnam berhasil dijatuhkan dan berakhirlah penjajahan Perancis terhadap Vietnam.

Setelah kemerdekaan perangpun terjadi kembali, kini perang saudara yang terjadi pada tahun 1959 antara Vietnam Selatan dan Vietnam Utara. Vietnam utara memprotesi pemilu yang tidak adil karena dihalang-halangi kemenangannya oleh Vietnam Selatan. Sebenarnya Vietnam selatan ini tidak menginginkan untuk menjadi Negara sosialis. Pada masa Perancis datang kembali setelah merdeka Vietnam selatanlah yang berhasil diduduki, karena itulah terdapat perbedaan cara pandang diantara keduanya, selatan dan utara yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Vietnam selatan yang memperoleh dukungan dari Amerika Serikat berperang melawan Vietnam Utara. Namun perang berhasil dimenangkan oleh kaum komunis vietnam utara pada tahun 1975 dan berhasil menyatukan kedua wilayah dibawah satu kepemimpinan Vietnam Utara. Secara resmi pada tahun 1976 penyatuan dua wilayah ini dilakukan dan menjadi republik sosialis Vietnam.

Politik
Sejak awal Vietnam yakin sosialislah yang akhirnya menang dalam perseteruan panjang antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sejak dekade 50an para pemimpin Hanoi yakin bahwa sosialisme dibawah kepemimpinan Uni Soviet akan menjadi pemenang dalam pertarungan blok barat dan blok timur. Para pemimpin Vietnam sangat mempercayai keunggulan sosialisme hal ini tercermin dari sikap optimisme mereka bahwa kapitalisme pada akhirnya akan kalah dalam pertarungan dua kubu utama di dunia, apalagi setelah kemenangan mereka terhadap pasukan Amerika.

Dalam pemerintahan, Negara Vietnam berlandaskan sistem demokratis-sentralisme. Demokrasi sentralisme adalah kehendak rakyat disalurkan dari bawah, disaring oleh atas, dan kemudian dikembalikan lagi kebawah melalui garis-garis tertentu, yang bersifat perintah atau komando. Dari segi ideologi Vietnam menganut ideologi komunis faham Marxisme-Leninisme serta ajaran –ajaran HO Chi Minh. Faham inilah yang menjadi ilham dan menerangi pemikiran dan sikap bangsa Vietnam dalam menghadapi musuh-musuh imperialisme dan kolonialisme. Mereka juga menganggap masyarakat sosialis adalah masyarakat masa depan.

Sejak kemerdekaannya partai komunis Vietnam merupakan kekuatan politik utama yang memegang dan mengendalikan kekuasaan melalui kongres partai komunis Vietnam bersama Majelis nasional Vietnam sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara. Meskipun kekuasaan partai komunis itu sepenuhnya tapi dalam prakteknya terdapat dua partai boneka yakni partai demokrasi dan partai sosialis yang menjadi check and Balances.

Dalam distribusi kekuasaannya sesuai konstitusi Vietnam 1992, pembagian kekuasaan pemerintahan dibagi menjadi tiga; kekuasaan Legislatf dipegang oleh Majelis Nasional, kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden yang dibantu wakil presiden dan perdana menteri yang dibantu oleh lima wakil perdana menteri dan para menteri cabinet dan kekuasasan Judikatif dipegang oleh Badan Peradilan yaitu People’s Court dan Central Commissions .

Majlis nasional Vietnam bertugas sebagai badan perwakilan rakyat pemegang kekuasan tertinggi yang bertugas membuat keputusan-keputusan mengenai kebijaksanaan dasar politik dalam dan luar negeri, sasaran pembangunan ekonomi dan sosial, pertahanan dan keamanan Negara serta melakukan pengawasan tertinggi terhadap seluruh kegiatan Negara dan pemerintah.

Presiden bertugas sebagai kepala Negara yang menjadi wakil Negara baik di dalam maupun luar negeri yang dipilih oleh majlis nasional. Sedangkan perdana menteri adalah pemempin pemerintahan yang merupakan badan eksekutif dari majelis nasional serta badan administrasi tertinggi republik sosialis Vietnam.

Dalam setiap kebijakannya Vietnam berdasar pada partai komunis Vietnam yang juga mengendalikan kekuasaan dan pelaksanaan politik melalui kongres partai komunis dan majlis nasional. Di dalam partai komunis terdapat polit biro. Polit biro komunis Vietnam sebagai organ sentral partai adalah eksponen penting bagi penentu arah serta tujuan pemerintahan .

Politik Luar Negeri Vietnam
Politik luar negeri Vietnam selalu mengalami perubahan pada setiapmasa-masanya. Pada awal berdirinya yakni tahun 1945, arah politik Vietnam cenderung netral tidak memihak secara terbuka terhadap dua kubu Amerika Serikat ataupun Uni soviet yang ketika itu berseteru. Meskipun berpahamkan sosialis tapi dalam hubungannya dengan Soviet pada saat itu tidaklah terbuka. Namun setelah terjadi pemisahan Vietnam selatan dan Vietnam utara oleh Perancis sesuai perjanjian Jenewa. Isi perjanjian itu adalah di utara lintang 17 derajat menjadi Vietnam Utara yang beraliran komunis dan di selatan lintang 17 derajat menjadi Vietnam Selatan yang berada di bawah Perancis .

Setelah terjadinya perang saudara Vietnam utara dan Vietnam selatan yang didukung Amerika Serikat maka hal inilah yang akhirnya mendorong Vietnam lebih dekat dengan Soviet. Dalam perkembangannya Vietnam menjadi lebih tegas dalam menentukan lawan dan kawan dengan mulai melancarkan tuduhan kepada Negara-negara tetangganya adalah Negara boneka Amerika. Dalam kondisi perang melawan Amerika hubungannya dengan cina semakin dekat karena cina merupakan penyuplai kebutuhan bagi Vietnam.

Politik luar negeri Vietnam setelah perang saudara berusaha membujuk Negara Barat untuk memberikan bantuan ekonomi karena banyak hal yang hancur akibat perang. Tapi karena merasa telah berhasil mengusir pasukan Amerika di Vietnam maka militer Vietnam merasa unggul dari Negara tetangganya. Militer Vietnam menjadikan Kamboja sebagai target militernya. Bulan Desember 1978 Vietnam mengawali invasinya dan pendudukan kamboja yang bertahan hingga sebelas tahun dengan menanamkan rejim boneka di bawah Heng Samrin .

Meski dari segi politik dan militer Vietnam bisa dikatakan berhasil tapi ekonominya sangatlah mundur apalagi bantuan dari Negara-negara sosialis semakin berkurang. Dengan semakin buruknya keadaan ekonomi memaksa para pemimpinnya lebih memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan melakukan perbaikan ekonomi dengan mengeluarkan agenda doi moi namun tidak mengubah ideologi komunisnya, juga tidak lagi tergantung pada Soviet maupun Cina yang sudah tidak dapat dipercayai lagi.

Politik luar negeri Vietnam paska perang dingin lebih cenderung menghadapi ketakukan akan invasi cina ke Vietnam selain itu Vietnam juga menyadari kesalahannya melakukan penyerangan terhadap kamboja yang banyak mengeluarkan dana.

Pada tahun 1985 dan 1995 hingga saat ini Vietnam merubah kebijakannya dari kebijakan isolasi menjadi normalisasi. Prioritas utamanya adalah menjalin dan mengembangakan hubungan persahabatan dengan Negara-negara tetangga, Negara-negara kawasan dan Negara-negara maju serta organisasi-organisasi Internasional.
Tiga pencapaian dalam kebijakan luar negeri tahun 1995 yang dapat menjadi landasan adalah, pertama dimensi regional, masuknya Vietnam ke dalam anggota ASEAN, kedua integrasinya ke dalam ekonomi global dengan menjalin kerjasama dengan Uni Eropa, ketiga dimensi strategis dan global ditandai dengan normalisasi hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat . Dengan begitu normalisasi hubungannya dengan dunia luar pada dasarnya sudah tercapai.

Pemerintahan Sosialis di Laos

Laos merupakan satu-satunya Negara Indocina yang terkurung oleh daratan dengan dikelilingi oleh lima Negara diperbatasannya, dibagian utara berbatasan dengan Cina, dibagaian timur berbatasan dengan Vietnam, dibagaian barat berbatasan dengan Burma dan Thailand dan kamboja dibagian selatannya. Laos memiliki luas wilayah 236800 km dengan mengalirnya sungai Mekong sungai terpanjang di Asia Tenggara yang mengalir sepanjang perbatasannya dengan Thailand. Selain itu Laos juga memiliki hutan tropis dan daerah aliran sungai yang subur. Jumlah penduduk Laos mencapai 4,7 juta jiwa yang terdiri dari 50 kelompok etnis yang berbeda.

Sejarah
Seperti halnya berberapa Negara Asia Tenggara lainnya yang juga mengalami pendudukan dari bangsa asing, Laos juga memiliki sejarah kolonialisasi yang cukup panjang. Pada abad ke 13 invasi Mongol ke Cina Selatan dan Asia Tenggara telah memaksa orang-orang Laos untuk migrasi dan pada tahun 1707 Laos terbagi menjadi tiga Negara kecil yang saling bertentangan yakni Negara Vientiane, Luang Prabang, dan Champa sak serta sempat juga mengalami penyerbuan dari Thailand dan Vietnam.

Pada tahun 1893 Laos dijajah oleh Perancis, dibawah pendudukan Perancil Laos yang terbagai menjadi tiga bagian Negara kecil kini dipersatukan kembali tepatnya pada tahun 1899 penyatuan tiga Negara kecil di Laos resmi bersatu kembali. Sama seperti kebanyakan Negara-negara di Asia Tenggara lainnya, ketika Jepang melakukan penaklukan keberbagai Negara di Asia, Laos juga tidak luput dari pendudukan Jepang tersebut. Pada tahun 1941 Jepang menyerbu Laos dan mulai melakukan kolonialisasi di Laos.

Setelah kekalahan Jepang terhadap sekutu serta menandai berakhirnya perang dunia ke II, gerakan kemerdekaan Laos membentuk pemerintahan yang dipimpin oleh raja Dhet Sarath. Tapi setelah Perancis datang kembali dan melakukan pendudukan terhadap Laos pada tahun 1946 pemerintahan ini kemudian hancur dan bubar.

Di bawah pendudukan Perancis untuk yang kedua kalinya ini, dibentuklah pemerintahan monarki konstitusional pada tahun 1947 yang kemudian pada tahun 1949 Laos menjadi Negara merdeka dibawah Uni Perancis dan akhirnya pada tahun 1953 Perancis memberikan kemerdekaan penuh terhadap Laos.

Mesti pendudukan asing telah berakhir tapi masalah di Laos belum sepenuhnya berakhir tapi terjadi perang saudara yang juga melibatkan pihak asing dibelakangnya. Pertempuran muncul antara tiga kelompok:
1) Kelompok pro-Barat dibawah pimpinan Jenderal Phaumi Nosavan,
2) Kelompok netral dipimpin pangeran Souvana Phouma dan
3) Kelompok Pathet Lao dibawah Souphanouvong yang beraliansi dengan Viet Minh dan menduduki Laos utara.

Pertempuran besar lainnya kembali terjadi setelah Vietnam Utara melakukan penyerbuan ke selatan dimana pertempuran tersebut sarat akan intervensi pihak asing. Pemerintahan kerajaan Lao yagn mendapat dukungan Amerika Serikat dengan kelompok Pathet Lao yang merupakan pro komunis Vietnam Utara. Sejak tahun 1964 sampai 1973, Amerika Serikat berperang secara diam-diam di wilayah Laos, melawan komunis-komunis Lao dan juga tentara Vietnam Utara yang mengirimkan peralatan perang kepada Vietkong di Vietnam Selatan melalui Jalur Ho Chi Min dengan melewati daerah Laos.

Gencatan senjata diantara keduanya berakhir pada tahun 1974 yang dimenangkan kelompok komunis Laos, peristiwa ini terjadi bersamaan dengan kemenangan komunisme di Vietnam dan Kamboja pada Desember 1975. Kelompok komunis Laos inilah yagn menguasai pemerintahan dan membubarkan Monarki Lao serta memproklamirkan berdirinya Lao People’s Demokratik Republic yang bersistemkan sosialis.

Politik
Pemerintahan Laos tidak sepenuhnya monolotik seperti rezim komunis lainnya, para kabinetnya meskipun seluruhnya komunis tapi mereka tetap mengakomodasikan kepentingan beberapa kelompok netral dan non komunis. Memasuki abad 21 Laos akan tetap mempertahankan sistem partai tunggal dan sistem politik Laos tidak akan bergeser dari sistem sosialis yang dianut kecuali pada reformasi ekonominya. Sebab penguasa Laos memiliki alasan bahwa meskipun Laos mengikuti partai tunggal, tetapi ia juga telah mengadopsi kekuatan-kekuatan netral lain di lembaga perwakilan. Dengan begitu kekuasaan partai tunggal di Laos tidak sepenuhnya menjadi kekuasaan utama tapi masih ada pihak lainnya yang menjadi penyeimbang kekuasaan. Partai yang berkuasa mengendalikan dengan ketat semua media di Laos., baik cetak maupun elektronik, dimiliki oleh pemerintah. Sirkulasi koran masih amat terbatas. Mengkritik negara, maupun upaya mengubah kebijakan partai dan menyebarkan gossip merupakan pelanggaran kriminal.

Pada sidang ke-6 Majelis Takyat Tertinggi Laos ke-2 pada bulan Agustus tahun 1991 dibentuk UUD pertama Republik Demokratis Rakyat Laos. UUD menetapkan, Republik Demokratis Rakyat Laos sebagai negara demokratis, semua hak milik rakyat, rakyat berbagai etnis menjalankan hak tuan rumah di bawah pimpinan Partai Revolusioner Rakyat Laos

Mesti begitu kekuasaan partai tetap dipertahankan dan ideologi komunis marxis masih tetap dipegang teguh, semuanya itu terlihat dari prasayarat untuk menjadi anggota dewan (Dewan Nasioanl) diantara sarat tersebut adalah
1) Berjiwa patriotic dan secara konsisten loyal kepada partai
2) Mengetahui cara mengimplementasikan garis dan kebijakan partai terhadapseluruh lapisan masyarakat yang multietnis.

Karena posisi geografisnya yang hanya daratan maka dalam perekonomiannnya Laos sangat tergantung bantuan asing. Antara tahun 1975 hingga 1990 Laos menerima bantuan yang luar biasa dari Uni Soviet yang kemudian bantuan ini terus mengalami pengurangan seiring ambruknya Blok Timur.

Untuk mengurangi ketergantungan dengan bantuan asing, Laos mulai melakukan renovasi dalam segi perekonomiannya. Tahun 1989 Laos mengesahkan Undang-undang investasi yang sangat terbuka sebagai isyarat ke dunia Internasional bahwa Laos kini terbuka untuk bisnis. Setelah itu pada tahun 1991 Laos juga mengesahkan undang-undang dasar hukum untuk membuka ekonomi Laos dengan mekanisme ekonomi Baru (New Economic Mechanism, NEM) seperti yang dinyatakan oleh wakil perdana menteri luar negeri lao, program itu ditujukan untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk membangun Laos yang masih terbelakang, dengan memprioritaskan pembangunan sector pertanian dan kehutanan sebagai dasar pembangunan industri.

Untuk menarik investasi asing Laos mengeluarkan kebijakan Foreign Direct Investmen (FDI) dengan harapan dapat membuka peluang kerja dan perbaikan ekonomi. Agar FDI ini dapat terlaksana dengan baik, pemerintah Laos telah melakukan perombakan mesin administrasi untuk memberikan fasilitas transaksi bisnis dan investasi internasional dengan;
1) Mengakhiri monopoli pemerintah pada sector-sektor tertentu
2) Perampingan struktur organisasi administrasi pemerintah
3) Debirokratisasi
4) Memperkukuh aturan hokum yang melindungi kepentingan nasional namun sekaligus memberikan keyakinan kepastian hokum kepada investor.

Menurut kalangan pengamat itu, berdasarkan basis purchasing power parity (PPP), pertumbuhan PDB tahun 2004 diperkirakan naik dari 3,9 persen menjadi 4,1 persen pada tahun 2005. Itu antara lain akibat membaiknya pertumbuhan ekonomi internasional pada tahun 2003, seperti di Jepang, Amerika Serikat, dan Thailand. Pertumbuhan riil PDB tahun 2004-2005 diperkirakan akan mencapai 6 persen dibandingkan dengan 5,5 persen tahun 2003. Dalam kaitan itu, ekspor Laos akan mendapat keuntungan dari percepatan pertumbuhan perdagangan dunia tahun 2004-2005, terutama di Vietnam, Thailand, dan Uni Eropa, yang merupakan mitra dagang utama Laos. Kondisi ekonomi dunia yang membaik juga diduga akan mendorong peningkatan investasi ke Laos.

Hubungan luar negeri
Sejak merdeka dibawah Perancis pada tahun 1953-1975 politik luar negeri Laos lebih condong ke Barat, hal ini terlihat dari banyaknya bantuan yang diterima Laos dari Amerika Serikat. Namun setelah Laos memproklamirkan pemerintahan sosialisnya dan mengganti nama menjadi Lao People’s Demokratik Republic pada 2 Desember 1975 Politik luar negeri Laos lebih condong kepada angota Blok Komunis.

Tahun 1977 diadakan perjanjian persahabatan dan kerjasama antara Vietnam dan Laos yagn berlaku selama 25 tahun. Sesuai perjanjian ini Vietnam memberikan pelatihan kader partai sampai pada masalah pembangunan dan keamanan dalam negeri. Mesti dalam bidang politik Laos tergantung pada Vietnam namun dalam bidang ekonomi Laos terghantung pada Thailand, karena Laos tidak memiliki pelabuhan, maka ekspor negeri ini melalui Bangkok (Thailand) dan Da Nang (Vietnam). Diplomas Laos menganut politik luar negeri damai yang bebas merdeka, berpendirian mengembangkan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan semua negara di dunia di atas dasar lima prinsip hidup berdampingan secara damai.

Ada dua prioritas utama kebijakan Luar negeri Laos yakni keinginan untuk memindahkan sekretarian komisi sungai Mekong dari Bangkok ke Vientiane. Selain itu yang lebih penting lagi adalah rencana Laos untuk bergabung dengan ASEAN pada tahun 1997. Hingga kini Laos berperan aktif dalam berbagai pertemuan ASEAN.

Hubungan Laos dengan Tiongkok ditandai dengan hubungan diplomatik pada tanggal 25 April tahun 1961. Pada tahun 2000, kepala negara Tiongkok dan Loas merealisasi saling kunjungan yang bersejarah, kedua pihak mengeluarkan " Pernyataan Bersama " mengenai peningkatan kerja sama bilateral. Pada bulan November tahun 2004, PM Tiongkok Wen Jiabao mengadakan kunjungan resmi di Laos. Pada bulan Juni tahun 2006, Presiden Laos Choummaly Sayasone mengadakan kunjungn kenegaraan di Tiongkok, kedua negara mengeluarkan " Komunike Pers Bersama ".

Dengan adanya keterbukaan hubungan Laos dengan negara-negara tetangga, Laos selalu berusaha membina hubungan baik dan damai. Kerja sama dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Myanmar, Thailand, Kamboja, dan China terus dilakukan.

Oleh karena itu, dalam usaha mempromosikan hubungan antarperbatasan, telah dilakukan sejumlah proyek kerja sama di perbatasan. Di antaranya Zona Ekonomi Bujur Sangkar, yang mempromosikan kerja sama sosial-ekonomi, sosial budaya dan politik antara Laos, Thailand, Myanmar, dan China (di kawasan sebelah utara).

Lalu ada Zona Perdagangan Perbatasan Densavanh (BTZ) yang mempromosikan perdagangan perbatasan antara Pemerintah Laos dan Vietnam. Zona Ekonomi Khusus Savan-Seno (SASEZ) mempromosikan hubungan perdagangan dan pelayanan dalam Koridor Ekonomi Timur-Barat (SASEZ)

Analisa Perbandingan Pemerintahan Sosialis Vietnam-Laos

Dilihat dari sejarah awal masuknya sosialis di kedua Negara ini, Laos dan Vietnam memiliki perbedaan tersendiri. Vietnam memang sejak awal sangat optimis akan kemenangan sosiali Uni Soviet terhadap kapitalis Amerika Serikat. Karena itu ideologi sosialis menjadi dasar Negara apalagi setelah Perancis membagi Vietnam menjadi dua bagian yakni Vietnam Utara dan Vietnam selatan. Hingga pada akhirnya keduanya melakukan gencatan senjata, Vietnam selatan mendapat bantuan dari Amerika Serikat maka Vietnam utara akhirnya melakukan interaksi secara lebih terbuka dengan Soviet yang memperoleh bantuan hingga akhirnya menang dalam perang saudara tersebut. Selain itu Vietnam Utara juga berhasil mengusir pendudukan Amerika Serikat atas Vietnam.

Dari segi sejarah, sosialisme Laos lebih banyak mendapat pengaruh dari Vietnam. Setelah Vietnam utara membantu kelompok Pathet Lao yang pro-komunis memenangkan perang saudara di Laos yakni perang melawan pemerintahan kerajaan Lao yang didukung Amerika Serikat. Bahkan dalam perkembangannya Vietnam banyak berperan dalam pembangunan politik di Laos, hal ini terbukti dengan diberikannya pelatihan kader partai dan banyaknya Para penasehat Vietnam ditempatkan pada berbagai kementrian Laos untuk memformulasikan politik luar negerinya dengan mengabaikan kepentingan Vietnam.

Dalam segi pemerintahannya pemerintahan sosialis Vietnam sangatlah tegas terutama kepada para oposisi yagn menentang pemerintahan sosialis. Banyak diantara para penentang pemerintahan pada akhirnya dipenjara dan mendapat hukuman yagn sangat berat. Misalnya kekuatan politik Vietnam selatan dinyatakan sebagai agen Amerika Serkat untuk menghentikan proses revolusi Vietnam. Revolusi adalah persoalan hidup matinya bangsa Vietnam sehingga rakyat hrus mendukung nasib bangsanya yang berada dalam ancaman kapitalis.

Sebaliknya pemerintahan sosialis di Laos cukup friendly dengan kelompok-kelompok lainnya di Laos. Bahkan kepentingan merekapun diakomodasikan oleh kabinet meski semua anggota kabinet adalah komunis namun aspirasi dari kelompok netral dan non komunis tetap diperhatikan. Bukan hanya itu saja meskipun memiliki kekuasaaan partai tunggal namun masih ada kelompok lainnya sebagai penyeimbang kekuasaan jadi check and Balances di Laos dapat dipraktekan.

Dalam pengeluaran kebijakan ekonominya, kedua Negara ini mengeluarkan kebijakan yang relatif sama yakni sama-sama membuka diri dengan dunia internasional serta memberlakukan pasar bebas dengan harapan dapat keluar dari krisis ekonomi serta meningkatkan ekonominya yang sama-sama lemah. Setelah pengaruh Blok Timur mulai berkurang dan menyadari Negara-negara tetangganya yang mulai tumbuh maju. Laos dan Vietnam yang ekonominya masih tertinggal melakukan banyak perbaikan ekonomi serta membuaka pasar dan bisnis mereka serta sama-sama membuka kerjasama dengan berbagai negaraa serta aktif dalam organisasi internasional.

Dalam faktanya Vietnam lebih dulu membuka diri dan pasarnya ke dunia internasional. Hal ini terlihat dalam kongres partai keenam tahun 1986, ketua partai Truing Chinh menyampaikan agenda perbaikan ekonomi yang kemudian dikenal dengan doi moi yang berarti renovasi. Hingga kini perekonomian Vietnam masih lebih unggul dari pada Laos.

Laos sendiri mulai melakukan renovasi ekonominya pada tahun 1989 dengan dekeluarkannya undang-undang investasi yang terbuka serta tahun 1991 dikeluarkan undang–undang dasar hukum mekanisme ekonomi baru (NEM).

Dengan semua kebijakan ekonomi inilah secara perlahan perekonomian kedua Negara ini berkembang menjadi lebih baik serta terus mengalami peningkatan yang signifikan.

Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dibahas sebelumnya terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil. Dalam perkembangannya kedua Negara sosialis di Asia Tenggara ini yakni Laos dan Vietnam memiliki banyak persamaan yang sangat mendasar yakni dari segi politik dan ekonomi.

Segi politik kedua Negara ini memiliki banyak kesamaan. Laos banyak mengikuti perpolitikan dari Vietnam. Jadi secara garis besar sistem pemerintahan keduanya relatif sama, bahkan sikap Vietnam dan Laos dalam menghadapi kondisi dunia saat runtuhnya Blok timur dan kondisi perekonomian yang terus memburuk.tetap saja mereka tidak merubah kebijakan politik mereka yang berhaluan sosialis.

Meski dalam segi ekonomi, baik Vietnam maupun Laos mulai melakukan keterbukaan pasar menuju pasar bebas dan peningkatan investasi asing agar perekonomian keduanya bisa meningkat serta keluar dari krisis . namun politik dan ideologi sosialis mereka tetap dipertahankan dengan terus menyatakan bahwa mereka adalah negara sosialis di Asia Tenggara

over view Pol Pem Asia Tenggara

Minggu, 29 Mei 2011

MOSANTO DAN PENGARUH BURUKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN RAKYAT DUNIA KETIGA

MOSANTO DAN PENGARUH BURUKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN RAKYAT DUNIA KETIGA


Bicara mengenai perekonomian rakyat di negara-negara dunia ketiga tidak dapat dilepaskan dari peran perusahaan Multinasional Agricultur Monsanto. PT. Monsanto adalah salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bisnis transgenik atau rekayasa genetika. Monsanto Chemical Company didirikan oleh John Francis Queeny pada tahun 1901 di Saint-Louis, Missouri.

John Francis Queeny sendiri adalah karyawan dari perusahan obat Meyer Brothers yang bergerak di bidang industri makanan dan farmasi. Perusahaan diberi nama dari nama akhir istri sang pendiri, yang namanya Olga Mendez Monsanto. Pada tahun 1902 perusahaan berbasis St. Louis ini mulai memproduksi Sakarin yang hasilnya dikirim kepada Perusahaan Coca Cola di Georgia. Akhinya perusahaan ini mulai memproduksi Kafein dan juga Vanila. Pada tahun 1917, Monsanto memasuki bisnis Farmasi dimana menjadi perusahaan pertama yang memproduksi Aspirin.

Akibat dari krisis keuangan dan perang hutang pada tahun 1920, saham dijual ke masyarakat di tahun 1927, satu tahun sebelum Edgar Queeny menggantikan ayahnya sebagai presiden perusahaan. Dia mengumumkan visi barunya dengan perluasan ke bisnis yang baru yang akan mengubah di tahun 1930 –an. Perluasan ini akan mencakup akuisisi langsung yang akan membuat perusahaan memproduksi karet, bahan kimia, tekstil, kertas,kayu, industri sabun dan juga deterjen. Monsanto juga pindah ke industri plastik dan seluloida.

Selama tahun perang dunia ke II, Monsanto terlibat dalam penelitian uranium untuk Proyek Manhattan. Projek ini dilakukan di pegunungan yang terletak di Dayton Ohio, yang biasanya digunakan sebagai fasilitas nuklir oleh pemerintah selama empat puluh tahun kedepan. Di tahun 1950 Monsanto mulai mengembangkan bisnis kimia. Melalui teknologi lisensi dari DuPont, perusahaan mulai memproduksi serat arklirik dan nilon. Monsanto juga mulai masuk ke industri pupuk. Selama dekade terakhir, Monsanto membangun pabrik untuk memproduksi silikon ultra murni yang sebagai bahan baku di dalam dunia industri elektronik.

Pada tahun 1960, Monsanto membuat divisi baru yang terfokus khusus ke industri Pertanian. Disini Monsanto memperkenalkan Hebrisida lasso, dan roundup menyusul beberapa tahun kemudian. Pada akhir tahun 60-an, hampir satu dekade setelah mendirikan divisi pertanian, Monsanto pindah ke bisnis Benih dan hibrida babi melalui akuisisi. Di tahun 1972 penunjukan john W. Hanley sebagai presiden baru, menandai awal era investasi besar dalam penelitian bioteknologi.

Pada tahun 1980-an, Monsanto memulainya dengan pergantian presiden baru yang bernama “Richard J. Mahoney”. Setelah mendapatkan posisi itu, Mahoney menjual komoditas bisnis bahan kimia Monsanto kepada DuPont. Monsanto menggunakan uang itu untuk penelitian dan pengembangan dan membuat teknologi baru termasuk pemanis buatan “Nutrasweet” dan “Aspartame”. Di awal tahun 1980, Monsanto menyatakan bahwa bioteknologi menjadi strategi fokus utama. Satu tahun setelah pernyataan itu, Ilmuwan di Monsanto adalah orang pertama yang berhasil memodifikasi tanaman secara Genetis sel. Hal ini menghasilkan keberhasilan dalam memodifikasi tanaman dengan sifat-sifat rekayasa genetika. Dua tahun setelah kesuksesan mereka, restrukturisasi besar perusahaan terjadi. Monsanto melakukan divestasi bisnis non-strategis untuk mengkonsolidasikan kompetensi utama, sebuah produk ekslusif dengan nilai yang tinggi.

Tahun 1990 menjadi satu dekade perluasan produksi obat-obat an untuk Monsanto. Menggunakan teknik-teknik baru dalam bioteknologi yang mampu membuat obat baru dengan kecepatan yang lebih dari sebelumnya. Di awal 1990, mereka pertama menjual Ambien sebuah obat untuk Insomnia dan Dayprom sebuah obat athritis.Pada tahun 1993, Robert B. Shapiro diangkat menjadi CEO yang baru untuk Monsanto. Dia mengumumkan bahwa perusahaan akan mulai memfokuskan strategi kembali ke perusahaan bidang ilmu kehidupan. Di Pertengahan tahun 1990, Monsanto menjual tanaman genetik pertama yang telah di setujui secara komersial yaitu RoundupReady Glifosat untuk Kedelai. Monsanto membentuk unit solaris, yang menghasilkan Ortho, Greensweep dan hukum Roundup dan Produk perkebunan.

Sebagai salah satu upaya untuk mengubah style Monsanto menjadi perusahaan eksklusif Ilmu kehidupan, di tahun 1997 Shapiro mendorong perusahaan untuk spin semua Bisnis Kimia mereka menuju sebuah perusahaan bernama Solutia. Saphiro melihat ini sebagai cara yang baik bagi perusahaan untuk meningkatkan keuntungan dengan berfokus pada kompetitif keunggulan utama. Monsanto adalah salah satu dari sedikit perusahaan yang memiliki kemampuan untuk memodifikasi tanaman genetik. Ia merenungkan bagaimana dia bisa memanfaatkan keuntungan ini dan masih mempertahankan reputasi baik perusahaan nya. Shapiro, lalu Verfailie, akan segera mengetahui bahwa ini bukan tugas yang mudah untuk dilakukan.

Jumat, 27 Mei 2011

Redefinisi Peran NATO

NATO; ”Lain Padang Lain Belalang, Lain Masa Lain Perannya”

Perang Dingin (Cold War) yang berlangsung selama 1949-1989 ditandai dengan terbaginya dunia menjadi dua blok yang saling bertentangan (bipolar) yaitu antara blok barat dibawah panji Amerika Serikat yang menganut liberal kapitalisme dengan Blok Timur pimpinan Uni Soviet yang berhaluan sosialis komunis. Pada periode ketegangan ini isu ideologis dan militer menjadi isu yang paling dominan, bahkan hampir semua hubungan antara negara bangsa masa itu ditafsirkan kedalam konteks konflik idologis dalam kerangka perang dingin.
Dominasi Uni Soviet dan Amerika Serikat terhadap para sekutunya menyebabkan hubungan internasional saat itu sangat dipengaruhi kepentingan kedua negara adidaya yang sedang bertikai. Hal ini disusul lahirnya blok-blok aliansi yang lebih didasarkan pada persamaan ideologi dan munculnya pakta pertahanan militer. Seiring dengan meningkatnya ketegangan tersebut pada tahun 1949 Amerika, Perancis, Inggris dan sembilan negara lainnya menandatangani perjanjian pembentukan sebuah pakta pertahanan. Pakta itu diberi nama North Atlantic Treaty Organization, disingkat NATO.
NATO adalah sebuah pakta pertahanan yang mengutamakan tindakan kolektif. Kelahiran NATO adalah merupakan implikasi langsung dari ketegangan masa perang dingin serta meluasnya ancaman nuklir setelah penemuan bom atom. Sebagai kompetitor Amerika Serikat, Uni Soviet menyadari bahwa dengan keberadaan NATO akan mengancam posisi keamanan Soviet dan negara-negara yang tergabung dalam aliansi Blok Timur yang dipimpinya, Uni Soviet meresponnya dengan menekankan peningkatan teknologi persenjataan nuklir dan mendorong perimbangan kekuatan terhadap blok Amerika Serikat. Pada tahun 1955 untuk mengimbangi kekuatan NATO, Soviet membentuk Organisasi Perjanjian Warsawa atau yang lebih dikenal dengan Pakta Warsawa.
Munculnya pakta keamanan ini adalah merupakan bentuk dari collective security. Brian Frederking dalam artikelnya mengatakan Collective security adalah suatu bentuk pengaturan sosial keamanan global di mana negara-negara anggota setuju untuk membuat kerjasama pertahanan sebagai respon apabila terjadi serangan dari pihak lain (external power).
Dalam collective security terdapat aturan dasar yang menjadi titik confirmation dalam melakukan kerjasama keamanan, yaitu; Identitas sebagai sesama anggota. Identitas ini biasanya merujuk pada kesamaan ideologi antar sesama negara anggota yang menjadi conformity awal untuk mendirikan maupun bergabung dalam suatu aliansi pertahanan, kedua, Otonomi yang dibatasi kewajiban untuk mengikuti dan menjalankan peraturan aliansi, ketiga, Sifat keamanan didasarkan atas multilateral commitmen dalam penggunaan kapabilitas militer, keeempat, Deterrence dilakukan dengan mengakui otonomi anggota lain yang tak melanggar peraturan aliansi, kelima, Pelaksanaan aksi balasan (retaliasi) apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan aliansi, dan keeenam, Penggunaan kekuatan pasukan apabila dianggap perlu.
Sebagaimana awal kemunculannya, terbentuknya NATO adalah sebagai sebuah upaya preventif bersama negara-negara anggota dalam koordinasi keamanan dibawah komando Amerika Serikat menghadapi ancaman musuh besarnya yakni Uni Soviet dengan Pakta Warsawanya yang pada akhir perjalanannya mengalami keruntuhan seiring dengan gelombang revolusi demokratik di Eropa Timur akhir dekade 1980-an dan bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 serta menandai berakhirnya Perang Dingin.
Tujuan utama dibentuknya NATO yaitu untuk melindungi anggotanya dari ancaman Uni Soviet sebagaimana telah tertuang dalam Article 5 perjanjian pakta pertahanan Washington antara lain berbunyi:
“ The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe or North America shall be considered an attack against them all and consequently they agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in exercise of the right of individual or collective self-defence recognised by Article 51 of the Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by taking forthwith, individually and in concert with the other Parties, such action as it deems necessary, including the use of armed force, to restore and maintain the security of the North Atlantic area”

Dalam pasal tersebut di atas, tugas utama NATO yaitu apabila terjadi sebuah serangan bersenjata kepada satu atau beberapa negara anggotanya, maka serangan tersebut dapat dipersepsikan sebagai serangan terhadap semua negara anggotanya dan negara-negara anggotanya memiliki kewajiban untuk peduli dan membantu sebuah Negara sekutu yang telah diserang dan dimungkinkan melakukan aksi balasan. Namun seperti kita ketahui, kekhawatiran kedua blok yang bersiteru tersebut tidak pernah terjadi baik dalam hal penyerangan terhadap negara-negara anggota maupun ancaman penggunaan bom nuklir. Amerika dan Soviet sama-sama mampu menahan hasrat untuk melakukan first attack yang dikhawatirkan merusak hubungan antara negara bangsa dan mengancam keberlangsungan kehidupan manusia dengan daya hancunya yang maha dasyat.

Redefini Misi NATO; Counter of Terorisme dan Perluasan Keanggotaan
Jauh-jauh hari sebelum peristiwa 9/11 NATO telah merencanakan untuk meredefinisi perannya dengan rencana perluasan keanggotaan dan perluasan peran. Jika perluasan peran itu disepakati, ke depan NATO akan terlibat di garis depan dalam perang melawan terorisme, pemberantasan kejahatan internet, serta menjadi garda pengaman sumber daya alam.
Kembalinya NATO mendapat momentum baru dengan diselenggarakannya tiga kegiatan pada tahun 2002: Dewan NATO -Rusia didirikan pada bulan Mei, pertemuan tingkat tinggi yang berlangsung dengan baik di Praha pada bulan November, dan kemajuan dalam kerja sama antara Uni Eropa dan NATO pada bulan Desember. Segera setelah keputusan yang disetujui di Praha diberlakukan, maka hal tersebut akan meningkatkan efektifitas Persekutuan dalam menjawab tantangan baru akan kebijakan keamanan dan luar negeri.
Pada tahun-tahun belakangan ini, kita melihat NATO sedang dalam usaha melakukan perubahan-perubahan yang fundamental yang berujung pada pertemuan tingkat tinggi di Bucharest pada bulan April 2008 yang membahas masalah-masalah yang terjadi dalam tubuh pada NATO dan kesulitan-kesulitan dengan penyebaran tentaranya di Afghanistan dan meningkatnya perlawanan pada pendudukan asing.
Perubahan yang terjadi dalam tubuh NATO pasca perang dingin selain mengurusi masalah terorisme atas pengaruh desakan Amerika yang sebenarnya “yang punya gawe” juga keinginan mengadopsi suatu agenda global dengan karakter transatlantiknya, serta melakukan ekspansi yang mungkin akan memasukkan negara-negara demokratik lainnya di luar kawasan Atlantik Utara. Akhirnya untuk memperluas keanggotaan NATO mengajak negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur yang pada masa perang dingin menjadi sekutu Soviet untuk bergabung dalam keanggotaan NATO.
Dapat dikatakan relevansi NATO pada masa pasca Perang Dingin ditentukan oleh peningkatan kemampuan Uni Eropa untuk melakukan operasi militer di luar pertahanan kolektif. Seperti yang dikatakan Ellen Hallams bahwa usul perluasan NATO dapat dipahami sebagai pemenuhan logis evolusi NATO menjadi suatu security community demokratis yang lebih luas, di mana suatu komitmen bersama terhadap nilai-nilai dan kepentingan demokratik lebih penting daripada sejarah transatlantik bersama. Hallams mengungkapkan bahwa usul NATO global bersandar pada argumen bahwa negara-negara demokratik yang berada di luar zona Eropa Atlantik, juga memiliki komitmen utama terhadap nilai-nilai dan cita-cita demokratik. Jelaslah, Amerika Serikat mendukung perubahan NATO menjadi suatu aliansi global, karena dari perspektif mereka, hal tersebut akan memperkuat kapabilitas militer NATO untuk menjalankan tujuan-tujuan Amerika. Namun menurut Hallams, upaya perluasan jaringan keanggotaan NATO dengan memasukkan negara-negara di luar zona Eropa-Atlantik berisiko mendilusi karakter transatlantik NATO.
Menurut penulis sendiri, dengan perluasan keanggotaannya, NATO masa depan tidak dapat lagi dikategorikan sebagai bentuk collective security, malah lebih tepatnya Global Security yang kadang-kadang bias super power. Alasannya adalah karena pergeseran isu dari keamanan regional dan bentuk preventive menghadapi kekuatan Uni soviet menjadi isu terorisme, yang telah dipersepsikan sebagai ancaman global. Kemudian alasan bias super power lebih dikarenakan adanya dominasi Amerika Serikat baik dari kapasitas militer maupun dalam setiap proses pengambilan keputusan dengan Inggris sebagai perpanjangan kepentingan Amerika serikat untuk mempengaruhi negara-negara Eropa agar satu visi dengan Amerika Serikat dalam berbagai hal.

Penutup
NATO yang pasca perang dingin mengalami disfungsi akibat tidak adanya ancaman keamanan terhadap kepentingan para negara-negara anggotanya dengan keruntuhan Uni Soviet dan buyarnya Pakta Warsawa yang menandai kemenangan blok liberal Amerika Serikat dalam periode ketegangan perang dingin mampu menjawab keraguan dunia internasional tentang relefansi dan eksistensinya sebagai organisasi pakta pertahanan dengan melibatkan diri dalam sejumlah aksi melawan terorisme di sejumlah negara di Timur Tengah walaupun pada awalnya tidak sepaham dengan Amerika Serikat dalam berbagai aksi pendudukan di negara-negara Timur Tengah serta keinginan Prancis dan Jerman atau yang biasa disebut kelompok europanist untuk lepas dari pengaruh Amerika Serikat dan membentuk organisasi keamanan bersama masyarakat Uni Eropa. Terfaksi-faksinya negara-negara Uni eropa ini sendiri juga merupakan pekerjaan rumah bagi NATO dan Amerika Serikat dalam menjaga eksistensi NATO. Kemudian perluasan keanggotaan NATO yang merambah kawasan Eropa Timur yang sebagian besar negaranya adalah negara-negara bekas sekutu Uni Soviet juga merupakan juga merupakan perluasan peran NATO ditengah keraguan akan keberlangsungan masa depan NATO pasca perang dingin. Apakah dengan peningkatan perannya NATO berniat merubah diri menjadi organisasi keamanan dunia? Mari kita diskusikan...