Jumat, 10 Juni 2011

Siklus Otoritarianisme Dunia Ketiga

Oleh A Eby Hara,PhD.

NEGARA-negara demokrasi baru di Eropa Timur dan Asia selalu mengalami gejolak sebelum mencapai tingkat kematangan demokrasi. Selain krisis pemerintahan karena aturan kelembagaan yang belum dihargai bersama, muncul fenomena menguatnya kembali kekuatan lama yang telah berganti warna dalam politik negara-negara itu.
Meski demikian, naiknya Partai Komunis atau mantan tokoh komunis seperti di Rusia (Presiden Vladimir Putin), Hongaria (PM Peter Medgyessy), Slowakia (Presiden Rudolph Schuster), dan Serbia ke pucuk pemerintahan tak mengubah sistem demokrasi yang belum lama berjalan. Tampaknya sistem demokrasi telah diterima luas, termasuk Partai Komunis yang sebelumnya menerapkan sistem totaliter dalam pemerintahan.
FENOMENA ini sedikit berbeda di negara dengan tradisi rezim militer. Di Pakistan, rezim militer yang dianggap sudah anakronis ternyata kembali berkuasa melalui kudeta terhadap pemerintahan sipil. Di Myanmar, rezim militer tetap bertahan hingga kini meski diisolasi negara-negara Barat. Di Thailand, baru beberapa tahun ini rezim pemerintahan sipil berkuasa cukup lama. Sebelumnya, Thailand terkenal dengan jatuh bangunnya pemerintahan karena kudeta. Godaan bagi militer untuk kembali ke pemerintahan mungkin masih besar di Thailand, tetapi sejalan dengan menguatnya pemerintahan sipil, kemungkinan kudeta militer makin kecil. Korea Selatan juga pernah dipegang penguasa militer, namun transisi ke pemerintahan sipil berjalan lancar.
Mengikuti fenomena di Eropa Timur, Indonesia juga tidak memerlukan waktu cukup lama bagi kembalinya kekuatan-kekuatan lama ke pemerintahan. Reformasi tidak mengubah secara mendasar komposisi kekuatan partai politik maupun struktur dan hierarki sosial di masyarakat. Maka, tidak mengherankan bila kekuatan lama yang punya jaringan kuat tinggal menunggu waktu untuk kembali berkuasa.
Namun, berbeda dengan fenomena rezim-rezim militer yang merebut kembali kekuasaan lewat kudeta seperti di Pakistan, Myanmar, atau Thailand sepuluh tahun lalu, konsolidasi kekuasaan militer meski lewat para purnawirawan, di Indonesia dilakukan dengan melebur pada sistem dan mekanisme politik baru.
Fenomena masuknya militer ke politik seperti di Indonesia, meski bukan satu-satunya di dunia, kurang kondusif bagi perkembangan demokrasi. Seperti di Eropa Timur, diharapkan lembaga demokrasi akan tetap dipertahankan siapa pun yang berkuasa. Namun, masyarakat tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran tentang munculnya kembali otoritarianisme, yang kalau tidak dimotivasi oleh faktor internal pada diri militer, bisa dipercepat oleh faktor eksternal yang mendorong peran militer lebih besar.
SIKLUS otoritarianisme demikian sudah diingatkan Samuel Huntington dan Joan Nelson lebih dari tiga puluh tahun lalu. Mereka menyebutkan, masalah utama demokrasi di dunia ketiga terletak pada pelembagaan dan partisipasi politik. Dalam hal partisipasi, negara- negara yang menutup keran partisipasi politik akan mencapai titik jenuh yang menimbulkan apa yang disebutnya "ledakan sosial". Tuntutan bagi partisipasi yang besar ini akan melahirkan pemerintahan yang terbuka, populis, dan pro-pemerataan ekonomi. Namun, suasana ini tidak akan bertahan lama karena melemahnya kemampuan ekonomi negara. Stagnasi ekonomi ini akan kembali melahirkan protes, ketidakstabilan politik yang mengancam negara itu. Huntington dan Nelson menyebutkan akan munculnya represi politik dan otoritarianisme baru untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan kesemrawutan politik akibat keterbukaan.
Siklus itu akan terus berputar menuju kembali ke ledakan sosial, kecuali ada kebijakan-kebijakan tambahan yang diambil rezim otoriter untuk menghentikan lingkaran itu. Rezim-rezim otoriter pembangunan menjadi harapan bagi perubahan bila berhasil memperbaiki ekonomi dan mengambil kebijakan yang bisa menanggulangi kesenjangan ekonomi di masyarakat. Rezim otoriter pembangunan di Korea Selatan dan Taiwan dianggap berhasil dalam hal ini sehingga social explosion bisa dicegah. Kestabilan politik terpelihara dan perubahan ke arah sistem demokratis bisa berjalan lebih lancar tanpa korban berarti.
Pandangan Huntington dan Nelson memang berlaku untuk rezim otoriter pembangunan beberapa dekade lalu saat rezim-rezim itu masih menjadi model di Amerika Latin dan Asia. Namun, kondisi-kondisi yang bisa melahirkan siklus itu agaknya tetap sama. Ledakan sosial dan tuntutan perubahan, terutama, terjadi bila kesenjangan ekonomi kian besar meski pertumbuhan ekonomi baik.
Sebaliknya, otoritarianisme dan represi politik akan muncul bila ekonomi stagnan yang menyebabkan lahirnya berbagai tuntutan masyarakat yang berujung ketidakstabilan politik dan kerusuhan.
DALAM konteks siklus ini, kekhawatiran atas munculnya kembali otoritarianisme di Indonesia cukup beralasan. Tentu saja otoritarianisme itu belum tentu kembali dalam bentuk model pemerintahan otoriter pembangunan, tetapi lebih kepada mentalitas yang sebagian kini berkembang di masyarakat dan kalangan elite. Siklus demikian tercermin dari asumsi umum bahwa bilamana terlalu banyak partisipasi dan kebebasan, pemerintahan tidak akan stabil, tidak efisien, dan ekonomi stagnan. Karena itu, kita memerlukan orang atau pemerintahan yang kuat.
Rezim-rezim otoriter pembangunan, atau sering disebut semi-demokrasi atau soft-authoritarian, dalam beberapa hal mendapat simpati meski memberangus media, membatasi perdebatan politik, mengatur aturan pemilu untuk kepentingan partai berkuasa, dan membatasi oposisi. Salah satu alasannya karena rezim-rezim itu memberi rasa aman, kepastian berusaha, dan berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Rezim Orde Baru di bawah Soeharto adalah rezim otoriter pembangunan, kecuali dalam hal manipulasi kekuasaan yang ditopang kekuatan militer yang nyata dan ketiadaan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan semi-demokrasi lain umumnya dikuasai sipil dengan tradisi pemisahan kekuasaan antara sipil dan militer, seperti di Malaysia dan Singapura. Semua keputusan pemerintahan diambil pemerintah sipil. Strategi politik dan keamanan dirancang oleh tokoh-tokoh sipil yang siap dilaksanakan oleh militer yang profesional.
DI negara-negara semi-demokrasi sipil itu, pemerintahan dianggap kuat bukan terutama dalam pengertian kemampuan menghancurkan lawan-lawan politik, tetapi bersih dan mampu melaksanakan program- program pembangunan dan ekonomi dengan baik. Di negara-negara itu, para pendukung pemerintahan mengatakan, bagi mereka demokrasi sekadar alat, bukan tujuan utama. Proses demokrasi digunakan untuk memperoleh kekuasaan dan menciptakan pemerintahan yang kuat dalam pengertian di atas.
Di Indonesia, politik dan proses demokrasi juga dipahami sebagai alat. Kini para elite politik dalam parpol yang suaranya agak besar, meski jauh dari mencapai mayoritas, merasa bahwa rakyat sudah kembali menginginkan mereka untuk berkuasa dan berhak memimpin.
Kita belum tahu pasti, seperti apa dan ke arah mana sebetulnya kerinduan masyarakat terhadap pemimpin yang kuat dan pemerintahan yang stabil itu. Yang lebih pasti sebenarnya bukan kerinduan masyarakat, tetapi kerinduan kekuatan lama untuk berkuasa kembali. Mereka mewarisi gaya, model kepemimpinan, dan terdidik dalam suasana politik Orde Baru.
Pemerintahan yang kuat saat itu berarti pemerintahan yang mampu menertibkan lawan-lawan politik. Kembalinya otoritarianisme seperti itu tentu saja sangat merisaukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar